KOMUNIKASI DAN PERANG URAT SARAF
OLEH.NUR ISLAMIYAH MUCHSIN
I. Pendahuluan
Karena perang urat saraf itu merupakan metode komunikasi dan menjadi objek studi ilmu komunikasi, maka strategi perang urat saraf adalah strategi komunikasi.
Dalam teori komunikasi dikenal adanya circular communication (komunikasi sirkular) atau komunikasi berputar. Dalam proses komunikasi dimulai dari feedforward (arus laju), yaitu sebelum komunikator menyampaikan pesannya pada komunikan, komunikator berusaha mengetahui sebanyak-banyaknya frame of reference (kerangka acuan : usia, pekerjaan, agama, tingkat pendidikan, pandangan hidupnya, kepercayaannya, hobinya, dan sebagainya) dari komunikannya. Setelah pesan disampaikan komunikator berusaha agar terjadi feedback (arus balik/umpan balik), berusaha mengetahui response (tanggapan) komunikan terhadap pesan yang disampaikan tadi. Arus balik digunakan untuk evaluasi, apakah komunikasi itu berhasil atau gagal.
Pendapat M. Karyadi tersebut mencakup pemahaman intelijen yang luas, tetapi cara-cara licik seperti sabotase, pembunuhan, penculikan, pembakaran, dan sebagainya itu bukanlah kajian ilmu komunikasi. Kebebasan komunikasi dalam kegiatan perang urat saraf terletak pada ciri-ciri : “bertujuan meraih kemenangan dengan cara mempengaruhi jiwa manusia, direncanakan secara mendalam dan matang, dan dilaksanakan secara terbuka dan terselubung
II. Pengertian Perang Urat Saraf
Perang urat saraf merupakan istilah baru bagi gagasan lama mengenai bagaimana caranya memenangkan peang. Gagasan tersebut dapat dijumpai pada buku pedoman yang paling tua tentang strategi militer.
Harold D. Lasswell dalam karyanya, “Political and Psychological Warfare” menyatakan bahwa dalam ebuah buku yang ditulis oleh SUun Tzu pada abad kelima sebelum Masehi, ditekankan pentingnya pemusnahan hasrat usuh untuk berperang dengancara membuat kaget dan gaduh, “Dalam perang pada waktu lama,” kata Sun Tzu, “digunakan lampu-lampu dan gendering-genderang, sedangkan dalam perang pada waktu siang digunakan panji-panji dan bendera-bendera.” Tujuan yang sama dapat dicapai dengan menyebar cerita-cerita tentang perkhianatan para pemimpin pihak musuh. Buku tersebut juga menyarankan untuk membunuh pemimpin-pemimpin musuh dalam rangka menciptakan kepanikan.
Dalam karyanya yang sama Lasswel juga menyatakan bahwa dalam literature klasik tentang politik di India Selatan, antara lain yang berjudul Arthasastra karya Kautilya, terdapat saran bagaiman caranya memusnahkan semangat juang musuh, dan sebaliknya membangkitkan semangat juang jajaran sendiri. Agen-agen rahasia, katanya, hendaknya diselundupkan dikalangan musuh untuk menyebarkan desas desus tentang kekalahan musuh yang pasti akan tiba.
Mengenai pengertian perang urat saraf masa ini yang telah dipraktekkan oleh berbagai Negara dapat dikaji dari berbagai definisi yang diketengahkan oleh ahli-ahli dan menyelidikinya.
William E. Daugherty bersama Moris Janowitz dalam bukunya a psychological warface casebook, menyatakan bahwa perang urat syaraf dapat di definisikan sebagai : The planned use propaganda other designed to influense the opinions, emotions, attitudes, and behavior of enemy, neutral and friendly foreign groups in such away as to support the accomplishment of national aims and objectives. ( Kegunaan secara terencana propaganda dan kegiatn-kegiatan lainnya yang dirancangkan untuk mempengaruhi pendapat, emosi, sikap, perilaku pihak musuh, pihak netral dan pihak kelompok asing yang bersahabat dalam rangka mendukung pencapaian sasaran dan tujuan nasional).
Definisi Daugherty dan Janowitz itu dikutip dari pedoman lapangan tentang perang urat syaraf yang disusun oleh Department of Army Amerika Serikat.
Dalam ensiklopedia International, definisi perang urat syaraf dirumuskan secara singkat saja, tetapi keterangan yang melengkapinya menunjukan keluasan kegiatan yang dicakup oleh perang urat syaraf itu. Dalam Ensiklopedia Tersebut dijelaskan sebagai berikut : “Psychological warfare, the application of psychology of the conduct of ware in an effort to win victories without force”
Though psychological warfare embraces the use of unorthodox military techniques or unfamiliar instruments of war to panic, unnerve, or depress the enemy, the term has generally to come to mean the use of propaganda, which has been defined as’organized persuasion by non-violent means’. The object is to change the mind of the enemy. In the broadest sense, psychological warfare synchronizes political, propaganda, subversive, and military efforts with modern psychology o attain specified goals. (Perang urat saraf, suatu penerapan psikologi dalam memimpin peperangan dengan tujuan untuk mendapat kemenangan tanpa kekerasan.
Meskipun perang urat saraf meliputi penggunaan teknik-teknik militer ortodoks atau peralatan perang yang tak lazim untuk membuat musuh panic, bingung, atau murung, istilahnya secara umum berarti penggunaan propaganda, yang telah didefinisikan sebagai “persuasi yang terorganisasi dengan cara-cara tanpa kekerasan.” Tujuannya adalah mengubah pikiran musuh. Dalam pengertian secara luas, perang urat saraf menyingkronkan kegiatannya kepada upaya-upaya politik, propaganda, subversive dan militer dengan psikologi modern guna mencapai tujuan khusus.) Guna melengkapi penjelasan mengenai pengertian perang urat saraf yang menjadi pokok pembahasan sekarang ini, akan dikutip pendapat Paul M. A Line Barger yang membagi pengertian perang urat saraf secara sempit dan secara luas ditegaskan oleh Line Barger :
- Perang urat saraf dalam arti sempit adalah “the use of propaganda agains and enemy, together with such other operational measures of a military, economic, or political naturel as may be required to supplement propaganda. ( Penggunaan propaganda terhadap musuh beserta tindakan-tindakan operasional yang bersifat militer, ekonomis, atau politis, sebagaimana disyaratkan untuk melengkapi propaganda.)
- Perang urat saraf dalam arti luasa adalah : “The application of parts of the science of psychology to further the efforts of political, economic, of military actions”. ( Penerapan bagian-bagian dari ilmu psikologi guna melanjutkan kegiatan-kegiatan politik, ekonomi atau militer )
Dari ketiga definisi di atas dapat disimak bahwa perang urat saraf tidak saja merupakan kegiatan dalam bidang militer tetapi juga dalam bidang-bidang lainnya, antara lain politik dan ekonomi, sehingga dari pendapat para ahli yang disebutkan tadi dapat disimpulkan bahwa perang urat saraf meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Perang lngkup : Bidang-bidang politik, ekonomi, dan militer.
b. Sasaran :
o Orang –orang yang bersangkutan dengan kegiatan politik, ekonomi, dan militer.
o Orang-orang yang hubungannya dengan gerakan militer:
(a) pihak musuh
(b) pihak netral
(c) pihak sahabat
c. Tujuan : 1) Mencapai kemenangan
2) Mempengaruhi sikap, pendapat dan perilaku.
d. Cara : 1) Menerapkan aspek ilmu psikolgi.
2) Merancang propaganda
3) Merancang kegiatan-kegiatan lain
Sebagaimana dikatakan tadi, perancang urat saraf dilancarkan dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang militer, politik, dan ekonomi. Dibandingkan dengan perang urat saraf dalam politik dan ekonomi, perang urat saraf mempunyai ciri khas. Hal ini disebabkan oleh fungsinya mendukung gerakan militer yang merupakan adu kekuatan secara fisik dalam bentuk bunuh membunuh. Oleh karena itu sasarannya pun diklasifikasikan menjadi tiga kelompok : selain pihak musuh yang diutamakan juga pihak yang bersifat netral dan pihak yang bersahabat. Pengklasifikasian sasaran ini bukan tidak mungkin untuk juga diterapkan dalam perang urat saraf di bidang politik dan ekonomi. Dalam kedua bidang ini terdapat pihak lawan, pihak yang bersimpati dan pihak yang bersikap tidak peduli.
Apabila paparan di atas hanya ditekankan dalam bidang militer, politik, ekonomi, tidak berarti bidang lainnya tidak terjadi atau tidak dilakukan perang urat saraf. Dalam bidang hokum misalnya, bisa saja dilakukan perang urat saraf oleh pihak penggugat dan tergugat untuk mempengaruhi jaksa atau hakim.
Sasaran perang urat saraf erat sekali korelasinya dengan tujuan. Meskipun di antara bidang-bidang yang satu dengan yang lainnya dan antara pihak yang satu dengan yang lainnya terdapat kesamaan tujuan, yakni sama-sama untuk mencapai kemenangan dan sama-sama untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku, dalam hal-hal tertentu ada perbedaan-perbedaan tertentu. Perubahan sikap, pendapat, dan perilaku musuh dalam peperangan tidak akan sama dengan perubahan sikap, pendapat dan perilaku musuh dalam bidang politik dan ekonomi. Demikian pula akan terdapat perbedaan antara perubahan sikap, pendapat, dan perilaku sikap musuh dengan perubahan sikap, pendapat dan perilaku pihak netral dan pihak yang bersimpati.
Cara-cara melakukan kegiatan perang urat saraf dengan menerapkan ilmu psikologi, merencanakan propaganda dan merancang kegiatan-kegiatan lainnya atau harus berbeda antar bidang yang satu atau bidang yang lainnya antar pihak yang satu dan pihak lainnya. Caranya harus disesuaikan dengan tujuan, dengan sasaran.
Dari paparan di atas jelas kiranya perang urat saraf tidak lagi sesempit yang diartikan semula, tetapi meluas mencakup bidang-bidang lainnya operasionalisasinya pun menjadi efektif karena didukung oleh hasil kemajuan teknologi, terutama teknologi media elektronik yang mampu mencapai sasaran dalam jumlah besar secara serempak dan serentak.
Dalam perkembangannya perang urat saraf itu mendapat nama lain seperti dibawah ini :
- political warfare(perang politik)
- ideological warfare(perang ideoligi)
- nerve warfare(perang saraf)
- propaganda warfare(perang propaganda)
- cold war(perang dingin)
- thought war(perang otak)
- War of ideas(perang ide)
- War of word(perang kata-kata)
- War of wits(perang kecerdasan)
- Battle for men’s mind(perjuangan terhadap otak manusia)
- Campaign of truth(kampanye kebenaran)
- Indirect aggression(agresi tak langsung)
- International communication(komunikasi internasional)
- International information(informasi internasional)
- International propaganda(propaganda internasional)
Apa julukannya, perang urat saraf pada hakikatnya adalah “suatu metode komunikasi yang secara berencana dan sistematis berupaya mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam ajang kemiliteran, politik, ekonomi dan lain-lain untuk meraih kemenangan”. Untuk memperoleh kejelasan lebih jauh hal ini akan diuraikan pada paparan berikutnya.
III. Propaganda sebagai Unsur Perang Urat Syaraf
Menurut Werner J. Severin-James W. Tankard, Jr, dalam buku Teori Komunikasi, Istilah propaganda berasal dari kata Congregatio de propaganda fide atau Congregation for the Propagation of Faith, yang dibentuk oleh Gereja Katolik pada tahun 1622. Yaitu saat terjadinya reformasi.
Karya klasik Laswell, Propaganda Tehnique in the World War (1927) mengajukan salah satu usaha hati-hati yang pertama kali untuk mendefinisikan propaganda: “Propaganda semata merujuk pada control opini dengan symbol-simbol penting, atau berbicara secara lebih konkret dan kurang akurat melalui cerita, rumor, berita, gambar, atau bentuk-bentuk komunikasi social lainnya” . Lasswell memberikan definisi yang agak berbeda bebrapa tahun kemudian: “Propaganda dalam arti yang paling luas adalah tehnik mempengaruhi indakan manusia dengan memanipulasi representasi (penyajian). Representasi bisa berbentuk lisan, tulisan, gambar atau music.
Pakar psikologi Roger Brown (1958) berusaha mengatasi hal ini dengan membedakan antara propaganda dan persuasi. Brown mendefinisikan persuasi sebagai “manipulasi symbol yang didesain untuk menghasilkan aksi pada orang lain”. Lalu dia mengatakan usaha-usaha persuasif disebut propaganda “apabila seseorang menilai bahwa tindakan tersebut, yang erupakan tujuan usaha persuasive, akan bermanfaat bagi yang melakukanpersuasi tetapi tidak demikian halnya bagi yang menjadi objek persuasi”. Denagn kata lain, tidak ada criteria absolut untuk menentukan apakah sebuah tindakan persuasi adalah propaganda yaitu sebuah penilaian yang dibuat seseorang. Sejauh teknik-teknik yang digunakan berkaitan, maka persuasi dan propaganda adalah sama, hanya saja, apabila ada anggapan bahwa suatu tindakan menguntungkan sumbernya, tetapi tidak menguntungkan penerimanya, maka tindakan atau pesan semacam itu bisa disebut propaganda.
Sebagaimana didefinisikan oleh Lasswell (1972, 1937) dan Brown (1958) propaganda mencakup periklanan (yang tujuannya bukan kebaikan penerimaan tetapi penjualan yang lebih besar bagi pemasang iklan), kampanye politik (yang tujuannya bukan kebaikan penerima kampanye tetapi pemilihan kandidat), dan public relation atau hubungan masyarakat (yang tujuannya sering kali tidak untuk kebaikan penerima tetapi nama baik perusahaan).
Propaganda terkadang berbentuk hiburan, seperti film, sinetron, novel, komik dan lainnya, karena hiburan dianggap lebih ampuh untuk menarik khalayak.
Secara teoritis, pesan propaganda harus diulang-ulang. Teknik pengulangan adalah sangat penting dan merupakan dasar dalam kegiatan propaganda.
Para propagandais harus selalu siap menyesaikan strategi propagandanya pada saat menghadapi situasi yang berbeda. Misal kegiatan propaganda melalui media massa dapat diikuti dengan kegiatan Komunikasi Interpersonal yang lebih searah, karena dalam propaganda tidak menghendaki adanya dialog.
Selanjutnya F. Rachmadi dalam buku Public Relatios Dalam Teori Dan Praktek (Aplikasi dalam Badan Usaha Swasta dan Lembaga Pemerintah) telah mengutip publikasi yang diterbitkan oleh Harcourt, Brace and Company di Amerika Serikat bahwa dalam menerapkan strategi propaganda perlu digunakan tujuh cara (Devices of Propaganda / muslihat propaganda) sebagai berikut :
1. Name calling (menjelek-jelekan), pemberian label buruk suatu gagasan-dipakai untuk membuat kita menolak dan mengutuk ide tanpa mengamati bukti (Lee dan Lee, 1939). Name calling tidak banyak muncul dalam periklanan, mungkin karena ada keengganan untuk menyebutkan produk yang sedang bersaing, bahkan dengan menjelekkannya. Namun demikian, pemakaiannya dalam politik dan bidang-bidang wacana public lain adalah lebih umum.
2. Glittering Generality (Penggunaan kata-kata muluk), menghubungkan sesuatu dengan “kata yang baik” dipakai untuk membuat kita menerima dan menyetujui sesuatu tanpa bukti-bukti.
3. Transfer (Pengalihan), membawa otoritas, dukungan, dan gengsi dari sesuatu yang dihargai dan disanjung kepada sesuatu yang lain agar sesuatu yang lain itu lebih dapat diterima. Transfer bekerJja melalui sebuah proses asosiasi. Tujuan komunikator adalah menghubungkan gagasan atau produk dengan sesuatu yang dikagumi orang.
4. Testimoni (Pengutipan/kesaksian), adalah member kesempatan pada orang-orang yang mengagumi atau membenci untuk mengatakan bahwa sebuah gagasan atau program atau produk ataus eseorang itu baik atau buruk.
5. Plain Folks (Perendahan diri/orang biasa), adalah metode yang dipakai oleh pembicara dalam upayanya meyakinkan audiens bahwa dia dan gagasan-gagasannya adalah bagus karena mereka adalah bagian dari rakyat atau rakyat yang lugu.
6. Card Stacking (Pemalsuan), meliputi pemilihan dan pemanfaatan fakta atau kebohongan, ilustrasi atau penyimpangan, dan pernyataan-pernyataan logis atau tidak logis untuk memberikan kasus terbaik atau terburuk pada sebuah gagasan, program, orang taau produk.
7. Bandwagon (Hura-hura), dengannya para propaganda berusaha meyakinkan kita bahwa semua anggota suatu kelompok dimana kita menjadi anggotanya enerima programnya dan oleh karena itu kita harus mengikuti kelompok kita dan menggabungkan diri dalam kelompok itu atau dengan kata lain, imbauan kepada khalayak untuk bergabung karena tujuan yang akan dicapai pasti berhasil. Dalam hal ini propagandais harus turun ke lapangan untuk mencapai keberhasilan tersebut.
IV. Penutup
Analisis propaganda pasca Perang Dunia I mengekspresikan pemikiran tertentu mengenai dampak komunikasi massa yang dapat kita nggap sebagi salah satu teori umum pertama tentang dampak komunikasi massa. Intinya, teori ini adalah yang kita kenal dengan “teori peluru”.
Hasil kerja institute for Propaganda Analysis menggiring pada apa yang kita dapat anggap sebagai sebuah teori primitive perubahan sikap. Beberapa alat propaganda yang di identifikasi institute tersebut agak sama dengan teknik-teknik yang kemudian diteliti secra lebih cermat dalam penelitian ilmiah tentang persuasi. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa alat-alat itu memiliki beberapa kemampuan untuk mengubah sikap tetapi efektivitas nya tidak samma pada setiap orang.
Meskipun efektivitasnya terbatas, ketujuh alat propaganda itu masih dapat memnuhitujuan awal mereka yaitu memberikan sebuah checklist teknik-teknik yang sering digunakan dalam komunikasi massa. Bisa saja semua alat propaganda merepresentasikan argument yang lemah. Pengetahuan tentang alat-alat itu dapat membuat rakyat, termasuk komunikator professional, sebagai konsumen informasi yang lebih baik.
Sumber Bacaan:
• Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosda karya, 2006, cet ke-20
• Werner J. Severin-James W. Tankard, Jr, Teori Komunikasi, Jakarta: Kencana, 2008, cet ke-3
• http/www.google.com/komunikasi/perang urat saraf/ diakses pada hari Jum’at 15 Desember 2010, 20.00
tksh...
BalasHapus