Kamis, 09 Desember 2010

ILMU KOMUNIKASI

KOMUNIKASI DAN PERANG URAT SARAF
OLEH.NUR ISLAMIYAH MUCHSIN

I. Pendahuluan
Karena perang urat saraf itu merupakan metode komunikasi dan menjadi objek studi ilmu komunikasi, maka strategi perang urat saraf adalah strategi komunikasi.
Dalam teori komunikasi dikenal adanya circular communication (komunikasi sirkular) atau komunikasi berputar. Dalam proses komunikasi dimulai dari feedforward (arus laju), yaitu sebelum komunikator menyampaikan pesannya pada komunikan, komunikator berusaha mengetahui sebanyak-banyaknya frame of reference (kerangka acuan : usia, pekerjaan, agama, tingkat pendidikan, pandangan hidupnya, kepercayaannya, hobinya, dan sebagainya) dari komunikannya. Setelah pesan disampaikan komunikator berusaha agar terjadi feedback (arus balik/umpan balik), berusaha mengetahui response (tanggapan) komunikan terhadap pesan yang disampaikan tadi. Arus balik digunakan untuk evaluasi, apakah komunikasi itu berhasil atau gagal.
Pendapat M. Karyadi tersebut mencakup pemahaman intelijen yang luas, tetapi cara-cara licik seperti sabotase, pembunuhan, penculikan, pembakaran, dan sebagainya itu bukanlah kajian ilmu komunikasi. Kebebasan komunikasi dalam kegiatan perang urat saraf terletak pada ciri-ciri : “bertujuan meraih kemenangan dengan cara mempengaruhi jiwa manusia, direncanakan secara mendalam dan matang, dan dilaksanakan secara terbuka dan terselubung
II. Pengertian Perang Urat Saraf
Perang urat saraf merupakan istilah baru bagi gagasan lama mengenai bagaimana caranya memenangkan peang. Gagasan tersebut dapat dijumpai pada buku pedoman yang paling tua tentang strategi militer.
Harold D. Lasswell dalam karyanya, “Political and Psychological Warfare” menyatakan bahwa dalam ebuah buku yang ditulis oleh SUun Tzu pada abad kelima sebelum Masehi, ditekankan pentingnya pemusnahan hasrat usuh untuk berperang dengancara membuat kaget dan gaduh, “Dalam perang pada waktu lama,” kata Sun Tzu, “digunakan lampu-lampu dan gendering-genderang, sedangkan dalam perang pada waktu siang digunakan panji-panji dan bendera-bendera.” Tujuan yang sama dapat dicapai dengan menyebar cerita-cerita tentang perkhianatan para pemimpin pihak musuh. Buku tersebut juga menyarankan untuk membunuh pemimpin-pemimpin musuh dalam rangka menciptakan kepanikan.
Dalam karyanya yang sama Lasswel juga menyatakan bahwa dalam literature klasik tentang politik di India Selatan, antara lain yang berjudul Arthasastra karya Kautilya, terdapat saran bagaiman caranya memusnahkan semangat juang musuh, dan sebaliknya membangkitkan semangat juang jajaran sendiri. Agen-agen rahasia, katanya, hendaknya diselundupkan dikalangan musuh untuk menyebarkan desas desus tentang kekalahan musuh yang pasti akan tiba.
Mengenai pengertian perang urat saraf masa ini yang telah dipraktekkan oleh berbagai Negara dapat dikaji dari berbagai definisi yang diketengahkan oleh ahli-ahli dan menyelidikinya.
William E. Daugherty bersama Moris Janowitz dalam bukunya a psychological warface casebook, menyatakan bahwa perang urat syaraf dapat di definisikan sebagai : The planned use propaganda other designed to influense the opinions, emotions, attitudes, and behavior of enemy, neutral and friendly foreign groups in such away as to support the accomplishment of national aims and objectives. ( Kegunaan secara terencana propaganda dan kegiatn-kegiatan lainnya yang dirancangkan untuk mempengaruhi pendapat, emosi, sikap, perilaku pihak musuh, pihak netral dan pihak kelompok asing yang bersahabat dalam rangka mendukung pencapaian sasaran dan tujuan nasional).
Definisi Daugherty dan Janowitz itu dikutip dari pedoman lapangan tentang perang urat syaraf yang disusun oleh Department of Army Amerika Serikat.
Dalam ensiklopedia International, definisi perang urat syaraf dirumuskan secara singkat saja, tetapi keterangan yang melengkapinya menunjukan keluasan kegiatan yang dicakup oleh perang urat syaraf itu. Dalam Ensiklopedia Tersebut dijelaskan sebagai berikut : “Psychological warfare, the application of psychology of the conduct of ware in an effort to win victories without force”
Though psychological warfare embraces the use of unorthodox military techniques or unfamiliar instruments of war to panic, unnerve, or depress the enemy, the term has generally to come to mean the use of propaganda, which has been defined as’organized persuasion by non-violent means’. The object is to change the mind of the enemy. In the broadest sense, psychological warfare synchronizes political, propaganda, subversive, and military efforts with modern psychology o attain specified goals. (Perang urat saraf, suatu penerapan psikologi dalam memimpin peperangan dengan tujuan untuk mendapat kemenangan tanpa kekerasan.
Meskipun perang urat saraf meliputi penggunaan teknik-teknik militer ortodoks atau peralatan perang yang tak lazim untuk membuat musuh panic, bingung, atau murung, istilahnya secara umum berarti penggunaan propaganda, yang telah didefinisikan sebagai “persuasi yang terorganisasi dengan cara-cara tanpa kekerasan.” Tujuannya adalah mengubah pikiran musuh. Dalam pengertian secara luas, perang urat saraf menyingkronkan kegiatannya kepada upaya-upaya politik, propaganda, subversive dan militer dengan psikologi modern guna mencapai tujuan khusus.) Guna melengkapi penjelasan mengenai pengertian perang urat saraf yang menjadi pokok pembahasan sekarang ini, akan dikutip pendapat Paul M. A Line Barger yang membagi pengertian perang urat saraf secara sempit dan secara luas ditegaskan oleh Line Barger :
- Perang urat saraf dalam arti sempit adalah “the use of propaganda agains and enemy, together with such other operational measures of a military, economic, or political naturel as may be required to supplement propaganda. ( Penggunaan propaganda terhadap musuh beserta tindakan-tindakan operasional yang bersifat militer, ekonomis, atau politis, sebagaimana disyaratkan untuk melengkapi propaganda.)
- Perang urat saraf dalam arti luasa adalah : “The application of parts of the science of psychology to further the efforts of political, economic, of military actions”. ( Penerapan bagian-bagian dari ilmu psikologi guna melanjutkan kegiatan-kegiatan politik, ekonomi atau militer )
Dari ketiga definisi di atas dapat disimak bahwa perang urat saraf tidak saja merupakan kegiatan dalam bidang militer tetapi juga dalam bidang-bidang lainnya, antara lain politik dan ekonomi, sehingga dari pendapat para ahli yang disebutkan tadi dapat disimpulkan bahwa perang urat saraf meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Perang lngkup : Bidang-bidang politik, ekonomi, dan militer.
b. Sasaran :
o Orang –orang yang bersangkutan dengan kegiatan politik, ekonomi, dan militer.
o Orang-orang yang hubungannya dengan gerakan militer:
(a) pihak musuh
(b) pihak netral
(c) pihak sahabat
c. Tujuan : 1) Mencapai kemenangan
2) Mempengaruhi sikap, pendapat dan perilaku.
d. Cara : 1) Menerapkan aspek ilmu psikolgi.
2) Merancang propaganda
3) Merancang kegiatan-kegiatan lain
Sebagaimana dikatakan tadi, perancang urat saraf dilancarkan dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang militer, politik, dan ekonomi. Dibandingkan dengan perang urat saraf dalam politik dan ekonomi, perang urat saraf mempunyai ciri khas. Hal ini disebabkan oleh fungsinya mendukung gerakan militer yang merupakan adu kekuatan secara fisik dalam bentuk bunuh membunuh. Oleh karena itu sasarannya pun diklasifikasikan menjadi tiga kelompok : selain pihak musuh yang diutamakan juga pihak yang bersifat netral dan pihak yang bersahabat. Pengklasifikasian sasaran ini bukan tidak mungkin untuk juga diterapkan dalam perang urat saraf di bidang politik dan ekonomi. Dalam kedua bidang ini terdapat pihak lawan, pihak yang bersimpati dan pihak yang bersikap tidak peduli.
Apabila paparan di atas hanya ditekankan dalam bidang militer, politik, ekonomi, tidak berarti bidang lainnya tidak terjadi atau tidak dilakukan perang urat saraf. Dalam bidang hokum misalnya, bisa saja dilakukan perang urat saraf oleh pihak penggugat dan tergugat untuk mempengaruhi jaksa atau hakim.
Sasaran perang urat saraf erat sekali korelasinya dengan tujuan. Meskipun di antara bidang-bidang yang satu dengan yang lainnya dan antara pihak yang satu dengan yang lainnya terdapat kesamaan tujuan, yakni sama-sama untuk mencapai kemenangan dan sama-sama untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku, dalam hal-hal tertentu ada perbedaan-perbedaan tertentu. Perubahan sikap, pendapat, dan perilaku musuh dalam peperangan tidak akan sama dengan perubahan sikap, pendapat dan perilaku musuh dalam bidang politik dan ekonomi. Demikian pula akan terdapat perbedaan antara perubahan sikap, pendapat, dan perilaku sikap musuh dengan perubahan sikap, pendapat dan perilaku pihak netral dan pihak yang bersimpati.
Cara-cara melakukan kegiatan perang urat saraf dengan menerapkan ilmu psikologi, merencanakan propaganda dan merancang kegiatan-kegiatan lainnya atau harus berbeda antar bidang yang satu atau bidang yang lainnya antar pihak yang satu dan pihak lainnya. Caranya harus disesuaikan dengan tujuan, dengan sasaran.
Dari paparan di atas jelas kiranya perang urat saraf tidak lagi sesempit yang diartikan semula, tetapi meluas mencakup bidang-bidang lainnya operasionalisasinya pun menjadi efektif karena didukung oleh hasil kemajuan teknologi, terutama teknologi media elektronik yang mampu mencapai sasaran dalam jumlah besar secara serempak dan serentak.
Dalam perkembangannya perang urat saraf itu mendapat nama lain seperti dibawah ini :
- political warfare(perang politik)
- ideological warfare(perang ideoligi)
- nerve warfare(perang saraf)
- propaganda warfare(perang propaganda)
- cold war(perang dingin)
- thought war(perang otak)
- War of ideas(perang ide)
- War of word(perang kata-kata)
- War of wits(perang kecerdasan)
- Battle for men’s mind(perjuangan terhadap otak manusia)
- Campaign of truth(kampanye kebenaran)
- Indirect aggression(agresi tak langsung)
- International communication(komunikasi internasional)
- International information(informasi internasional)
- International propaganda(propaganda internasional)
Apa julukannya, perang urat saraf pada hakikatnya adalah “suatu metode komunikasi yang secara berencana dan sistematis berupaya mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam ajang kemiliteran, politik, ekonomi dan lain-lain untuk meraih kemenangan”. Untuk memperoleh kejelasan lebih jauh hal ini akan diuraikan pada paparan berikutnya.
III. Propaganda sebagai Unsur Perang Urat Syaraf
Menurut Werner J. Severin-James W. Tankard, Jr, dalam buku Teori Komunikasi, Istilah propaganda berasal dari kata Congregatio de propaganda fide atau Congregation for the Propagation of Faith, yang dibentuk oleh Gereja Katolik pada tahun 1622. Yaitu saat terjadinya reformasi.
Karya klasik Laswell, Propaganda Tehnique in the World War (1927) mengajukan salah satu usaha hati-hati yang pertama kali untuk mendefinisikan propaganda: “Propaganda semata merujuk pada control opini dengan symbol-simbol penting, atau berbicara secara lebih konkret dan kurang akurat melalui cerita, rumor, berita, gambar, atau bentuk-bentuk komunikasi social lainnya” . Lasswell memberikan definisi yang agak berbeda bebrapa tahun kemudian: “Propaganda dalam arti yang paling luas adalah tehnik mempengaruhi indakan manusia dengan memanipulasi representasi (penyajian). Representasi bisa berbentuk lisan, tulisan, gambar atau music.
Pakar psikologi Roger Brown (1958) berusaha mengatasi hal ini dengan membedakan antara propaganda dan persuasi. Brown mendefinisikan persuasi sebagai “manipulasi symbol yang didesain untuk menghasilkan aksi pada orang lain”. Lalu dia mengatakan usaha-usaha persuasif disebut propaganda “apabila seseorang menilai bahwa tindakan tersebut, yang erupakan tujuan usaha persuasive, akan bermanfaat bagi yang melakukanpersuasi tetapi tidak demikian halnya bagi yang menjadi objek persuasi”. Denagn kata lain, tidak ada criteria absolut untuk menentukan apakah sebuah tindakan persuasi adalah propaganda yaitu sebuah penilaian yang dibuat seseorang. Sejauh teknik-teknik yang digunakan berkaitan, maka persuasi dan propaganda adalah sama, hanya saja, apabila ada anggapan bahwa suatu tindakan menguntungkan sumbernya, tetapi tidak menguntungkan penerimanya, maka tindakan atau pesan semacam itu bisa disebut propaganda.
Sebagaimana didefinisikan oleh Lasswell (1972, 1937) dan Brown (1958) propaganda mencakup periklanan (yang tujuannya bukan kebaikan penerimaan tetapi penjualan yang lebih besar bagi pemasang iklan), kampanye politik (yang tujuannya bukan kebaikan penerima kampanye tetapi pemilihan kandidat), dan public relation atau hubungan masyarakat (yang tujuannya sering kali tidak untuk kebaikan penerima tetapi nama baik perusahaan).
Propaganda terkadang berbentuk hiburan, seperti film, sinetron, novel, komik dan lainnya, karena hiburan dianggap lebih ampuh untuk menarik khalayak.
Secara teoritis, pesan propaganda harus diulang-ulang. Teknik pengulangan adalah sangat penting dan merupakan dasar dalam kegiatan propaganda.
Para propagandais harus selalu siap menyesaikan strategi propagandanya pada saat menghadapi situasi yang berbeda. Misal kegiatan propaganda melalui media massa dapat diikuti dengan kegiatan Komunikasi Interpersonal yang lebih searah, karena dalam propaganda tidak menghendaki adanya dialog.
Selanjutnya F. Rachmadi dalam buku Public Relatios Dalam Teori Dan Praktek (Aplikasi dalam Badan Usaha Swasta dan Lembaga Pemerintah) telah mengutip publikasi yang diterbitkan oleh Harcourt, Brace and Company di Amerika Serikat bahwa dalam menerapkan strategi propaganda perlu digunakan tujuh cara (Devices of Propaganda / muslihat propaganda) sebagai berikut :
1. Name calling (menjelek-jelekan), pemberian label buruk suatu gagasan-dipakai untuk membuat kita menolak dan mengutuk ide tanpa mengamati bukti (Lee dan Lee, 1939). Name calling tidak banyak muncul dalam periklanan, mungkin karena ada keengganan untuk menyebutkan produk yang sedang bersaing, bahkan dengan menjelekkannya. Namun demikian, pemakaiannya dalam politik dan bidang-bidang wacana public lain adalah lebih umum.
2. Glittering Generality (Penggunaan kata-kata muluk), menghubungkan sesuatu dengan “kata yang baik” dipakai untuk membuat kita menerima dan menyetujui sesuatu tanpa bukti-bukti.
3. Transfer (Pengalihan), membawa otoritas, dukungan, dan gengsi dari sesuatu yang dihargai dan disanjung kepada sesuatu yang lain agar sesuatu yang lain itu lebih dapat diterima. Transfer bekerJja melalui sebuah proses asosiasi. Tujuan komunikator adalah menghubungkan gagasan atau produk dengan sesuatu yang dikagumi orang.
4. Testimoni (Pengutipan/kesaksian), adalah member kesempatan pada orang-orang yang mengagumi atau membenci untuk mengatakan bahwa sebuah gagasan atau program atau produk ataus eseorang itu baik atau buruk.
5. Plain Folks (Perendahan diri/orang biasa), adalah metode yang dipakai oleh pembicara dalam upayanya meyakinkan audiens bahwa dia dan gagasan-gagasannya adalah bagus karena mereka adalah bagian dari rakyat atau rakyat yang lugu.
6. Card Stacking (Pemalsuan), meliputi pemilihan dan pemanfaatan fakta atau kebohongan, ilustrasi atau penyimpangan, dan pernyataan-pernyataan logis atau tidak logis untuk memberikan kasus terbaik atau terburuk pada sebuah gagasan, program, orang taau produk.
7. Bandwagon (Hura-hura), dengannya para propaganda berusaha meyakinkan kita bahwa semua anggota suatu kelompok dimana kita menjadi anggotanya enerima programnya dan oleh karena itu kita harus mengikuti kelompok kita dan menggabungkan diri dalam kelompok itu atau dengan kata lain, imbauan kepada khalayak untuk bergabung karena tujuan yang akan dicapai pasti berhasil. Dalam hal ini propagandais harus turun ke lapangan untuk mencapai keberhasilan tersebut.
IV. Penutup
Analisis propaganda pasca Perang Dunia I mengekspresikan pemikiran tertentu mengenai dampak komunikasi massa yang dapat kita nggap sebagi salah satu teori umum pertama tentang dampak komunikasi massa. Intinya, teori ini adalah yang kita kenal dengan “teori peluru”.
Hasil kerja institute for Propaganda Analysis menggiring pada apa yang kita dapat anggap sebagai sebuah teori primitive perubahan sikap. Beberapa alat propaganda yang di identifikasi institute tersebut agak sama dengan teknik-teknik yang kemudian diteliti secra lebih cermat dalam penelitian ilmiah tentang persuasi. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa alat-alat itu memiliki beberapa kemampuan untuk mengubah sikap tetapi efektivitas nya tidak samma pada setiap orang.
Meskipun efektivitasnya terbatas, ketujuh alat propaganda itu masih dapat memnuhitujuan awal mereka yaitu memberikan sebuah checklist teknik-teknik yang sering digunakan dalam komunikasi massa. Bisa saja semua alat propaganda merepresentasikan argument yang lemah. Pengetahuan tentang alat-alat itu dapat membuat rakyat, termasuk komunikator professional, sebagai konsumen informasi yang lebih baik.



Sumber Bacaan:
• Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosda karya, 2006, cet ke-20
• Werner J. Severin-James W. Tankard, Jr, Teori Komunikasi, Jakarta: Kencana, 2008, cet ke-3
• http/www.google.com/komunikasi/perang urat saraf/ diakses pada hari Jum’at 15 Desember 2010, 20.00

Selasa, 07 Desember 2010

LANDASAN TEORI DAN KONSEP SISTEM

OLEH.NUR ISLAMIYAH MUCHSIN
Landasan Teori dan Konsep Sistem Teknologi Pendidikan

A. Pendahuluan
Pendidikan bukan merupakan sesuatu yang asing bagi kita, terlebih lagi karena kita bergerak di bidang pendidikan. Juga pasti kita sepakat bahwa pendidikan diperlukan oleh semua orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan itu dialami oleh semua manusia dari semua golongan. Tetapi seringkali, orang melupakan makna dan hakikat pendidikan itu sendiri. Layaknya hal lain yang sudah menjadi rutinitas, cenderung terlupakan makna dasar dan hakikatnya.
Setiap orang yang terlibat dalam dunia pendidikan sepatutnya selalu merenungkan makna dan hakikat pendidikan, merefleksikannya di tengah-tengah tindakan/aksi dalam dunia yang digelutinya dan melakukan tindakan/aksi sebagai buah refleksinya. Dengan singkat, dapat kita katakan hal ini sebagai pendidikan dalam praxis atau praxis dalam pendidikan.
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah “subyek” dari – pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.
Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya sehingga dengan pendidikan ini menimbulkan konsep pendidikan, tumbuh berkembangnya suatu konsep tidak akan terlepas dari konteks dimana konsep itu dapat tumbuh, serta apa dan bagaimana awal perkembangan konsep itu sendiri. Misalnya, konsep sekolah yang merupakan lembaga khusus untuk menyelengarakan pendidikan akan dapat tumbuh bilamana konteks masyarakat memungkinkannya adanya kebutuhan yang dirasakan oleh pembuatan masyarakat, adanya tenaga professional yang mengelola dan sebagainya. Dalam bahasa keseharian, konteks dapat dianalogikan dengan lahan, dan awal konsep rumusan konsep, dianalogikan dengan benih. Sehingga lahan yang masih kosong dapat ditumbuhkan benih didalamnya.
Setiap konsep tentu memerlukan istilah atau nama yang diciptakan sebagai lambang untuk mengidentifikasi konsep yang dimaksud, misalnya istilah sekolah dan untuk mengomunikasikan gagasan yang ada didalamnya. Istilah itu harus menunjukkan gagasan yaitu gambaran mental mengenai suatu gejala dan harus pula mewakili adanya sejumlah rujukan yaitu gejala kongkrit yang dapat dikenal denga penginderaan. Sedangkan gagasan mengarahkan memberikan batasan pada sejumlah kenyatan yang terdapat dalam rujukan.

B. Definisi Landasan Teori
Landasan teori memuat teori-teori atau konsep-konsep dasar, yang diambil dari buku-buku acuan yang langsung berkaitan dengan bidang ilmu yang diteliti sebagai tuntunan, untuk memecahkan masalah penelitian dan untuk merumuskan hipotesis (Ardiansyah, 2006).
Tanpa teori dalam arti seperangkat alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu.
Pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbuatan masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan (psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi suatu praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori yang baik.

C.Definisi Sistem
Sistem adalah jaringan kerja dari beberapa prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama untuk melakukan suatu kegiatan atau untuk menyelesaikan suatu sasaran yang tertentu (Gunadarma, 2006).
Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energy. Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak, contoh umum misalnya seperti negara. Negara merupakan suatu kumpulan dari beberapa elemen kesatuan lain seperti provinsi yang saling berhubungan sehingga membentuk suatu negara dimana yang berperan sebagai penggeraknya yaitu rakyat yang berada dinegara tersebut.
Kata "sistem" banyak sekali digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam forum diskusi maupun dokumen ilmiah. Kata ini digunakan untuk banyak hal, dan pada banyak bidang pula, sehingga maknanya menjadi beragam. Dalam pengertian yang paling umum, sebuah sistem adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan di antara mereka.
Pada prinsipnya, setiap sistem selalu terdiri atas empat elemen:
• Objek, yang dapat berupa bagian, elemen, ataupun variabel. Ia dapat benda fisik, abstrak, ataupun keduanya sekaligus; tergantung kepada sifat sistem tersebut.
• Atribut, yang menentukan kualitas atau sifat kepemilikan sistem dan objeknya.
• Hubungan internal, di antara objek-objek di dalamnya.
• Lingkungan, tempat di mana sistem berada.
Ada berbagai tipe sistem berdasarkan kategori:
• Atas dasar keterbukaan:
- Sistem terbuka, dimana pihak luar dapat mempengaruhinya.
- Sistem tertutup, tidak berinteraksi dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan.
• Atas dasar komponen:
- Sistem fisik, dengan komponen materi dan energi.
- Sistem non-fisik atau konsep, berisikan ide-ide.

D. Konsep Sistem dalam Teknologi Pendidikan.
Dalam teknologi pendidikan dikenal beberapa pendekatan dalam proses belajar mengajar. Pendekatan tersebut pada prinsipnya merupakan suatu sistem yang dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.
Secara sederhana, sistem pendidikan terdiri dari masukan (input) yang terdiri dari orang, informasi dan sumber lainnya. Sedangkan keluarannya (output) adalah orang-orang dalam kondisi yang mempunyai kemampuan yang lebih baik dari semula. Dalam sistem di atas, proses belajar-mengajar terletak di tengah-tengah, di antara input dan output.
Terdapat 2 kelompok pendekatan yang digunakan dalam mendefinisikan sistem, yaitu :
1. Lebih menekankan pada prosedur yang digunakan dalam sistem dan mendefinisikan sistem sebagai jaringan prosedur, metode, dan cara kerja yang saling berinteraksi dan dilakukan untuk pencapaian suatu tujuan tertentu.
2. Lebih menekankan pada elemen atau komponen penyusun sistem, mendefinisikan sebagai kumpulan elemen baik abstrak maupun fisik yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu.
Kedua definisi tersebut sama benarnya dan tidak saling bertentangan. Yang berbeda hanyalah cara pendekatan yang dilakukan pada sistem. Karena pada hakekatnya setiap komponen sistem, untuk dapat saling berinteraksi dan untuk dapat mencapai tujuan tertentu harus melakukan sejumlah prosedur, metode, dan cara kerja yang juga saling berinteraksi.
Sasaran sistem mempengaruhi dan sering mengendalikan konten masukan menjadi keluaran. Pada sistem demikian, biasanya terdapat dua pendekatan yang dapat dilaksanakan, yaitu pendekatan yang berorientasi pada guru dan pendekatan yang berorientasi pada siswa.
Menurut Finn (1972), yang menjadi ciri-ciri konsep sistem dalam teknologi pendidikan adalah mengoordinasikan orang-mesin-informasi, adanya informasi untuk pengendalian, analisis yang menyeluruh dan perencanaan jangka panjang.
Hobban (1960), menekankan perlunya konsep sistem dalam pendidikan. Kegunaan konsep sistem adalah gagasan adanya :
1. Komponen dalam sistem
2. Integrasi diantara komponen
3. Peningkatan efisiensi sistem.
Perkembangan konsep sistem dan teknik-tekniknya seperti pendekatan sistem dan analisis sistem, membawa pengaruh lebih lanjut dibidang teknologi pendidikan. Pendekatan sistem menurut Heinich (1965), memerlukan pengkajian seluruh proses dengan menyadari adanya saling hubungan dalam dan antara komponen, mempunyai tujuan tertentu, berjalan melalui tahapan yang diperlukan, serta menilai hasil akhir apakah sesuai dengan tujuan dan memperbaikinya bila belum sesuai. Konsepsi ini paling tidak mempengaruhi perkembangan bidang teknologi pendidikan dengan konsep sebagai berikut:
1. Teknologi Pendidikan merupakan suatu proses bukan produk.
2. Teknologi Pendidikan menerapkan pendekatan sistem untuk pembelajaran dengan melakukan analisis, pengembangan, dan evaluasi.
3. Teknologi Pendidikan mengintegrasikan sumber insani dan non-insani.
4. Kegiatan analisis, pengembangan dan evaluasi memerlukan sumber insani yang dipersiapkan/ mempunyai tanggung jawab khusus.
5. Teknologi Pendidikan lebih dari sekadar jumlah komponen-komponen melainkan kombinasi fungsi dan sumber dalam proses yang sistematis dan menghasilkan sesuatu yang baru-yang tidak dapat dihasilkan oleh masing-masing komponen secara terpisah.
E. Perkembangan Landasan Teori dan Konsep Sistem Teknologi Pendidikan
Perkembangan konsep teknologi pendidikan tersebut diawali dengan adanya alat peraga yang digunakan oleh tiap-tiap guru secara individual dalam rangka kegiatan pembelajarannya. Kemudian disediakannya berbagai media pengajaran oleh lembaga yang khusus membuat tugas pembuatan dan penyediaan media. Para guru diharapkan menggunakan media yang tersedia sebagai bagian integral dari program belajar mengajar.
Perkembangan kemudian masih terbatas dalam lingkup pendidikan sekolah, namun teknologi pendidikan tak hanya berupa media, tapi juga berbagai strategi yang diperlukan agar siswa belajar aktif. Namun dengan demikian, pertimbangan bahwa belajar itu terjadi dimana saja, kapan saja, serta oleh siapa dan apa saja, maka konsep pendidikan disekolah harus diperluas, hingga lingkungan luar sekolah termasuk dilembaga masyarakat, lembaga pelatihan, lembaga kerja, lembaga ibadah, bahkan oleh pribadi. Sedang kegiatannya dapat berupa teknologi pembelajaran atau teknologi kinerja.

G.Penutup
Konsep sistem teknologi pendidikan yaitu :
1. Teknologi Pendidikan merupakan suatu proses bukan produk
2. Teknologi Pendidikan menerapkan pendekatan sistem untuk pembelajaran dengan melakukan analisis, pengembangan, dan evaluasi.
3. Teknologi Pendidikan mengintegrasikan sumber insani dan non-insani.
4. Kegiatan analisis, pengembangan dan evaluasi memerlukan sumber insani yang dipersiapkan/ mempunyai tanggung jawab khusus.
5. Teknologi Pendidikan lebih dari sekadar jumlah komponen-komponen melainkan kombinasi fungsi dan sumber dalam proses yang sistematis dan menghasilkan sesuatu yang baru, yang tidak dapat dihasilkan oleh masing-masing komponen secara terpisah.





DAFTAR PUSTAKA

Miarso, Yusufhadi. 2007. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta :
Kencana Prenada Media Group.
Prawiradilaga, Dewi Salma dan Eveline Siregar. 2007. Mozaik Teknologi
Pendidikan. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.
Seels, Barbara B dan Richey, Rita C. 1994. Teknologi Pembelajaran Definisi dan
Kawasannya. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.

Kamis, 02 Desember 2010

TEKNOLOGI KINERJA, SISTEM INSENTIF DAN FEED BACK.

OLEH NUR ISLAMIYAH MUCHSIN
Sistem umpan balik

Pentingnya sistem umpan balik telah dinyatakan dengan jelas oleh Gilbert (1978), yang menggambarkan dua cara berbeda di mana tanpa pelatihan dan informasi yang diperlukan untuk kinerja yang kompeten tidak dapat ditingkatkan: salah satunya adalah dengan manipulasi data, agar secara efektif dapat mengkonfirmasi kinerja, dan melalui perbaikan di mana kinerja diarahkan atau dipandu. Gilbert menambahkan, "lebih dari setengah masalah kompetensi manusia dapat diidentifikasi dan hasilnya, data tidak memadai," berarti data yang rusak dalam proses pemberian umpan balik dan membimbing atau mengarahkan kinerja: " cacat mudah diperbaiki dan tidak akan ada kekuranan, jika orang tersebut menyadari hal itu dan konsekuensi terhadap apa yang dikerjakan "(hal. 179).

Diagram dasar memperlihatkan sebuah loop yang mencakup konsep, tindakan, dan hasil, dan panah kiri menunjuk kembali ke orang, umpan balik berlabel. umpan balik terdiri dari informasi mengenai sifat tindakan dan hasilnya, dalam kaitannya dengan beberapa kriteria penerimaan. (Lihat Gambar 1)

Umpan balik, tentu saja, tidak pernah-berakhir input dari satu atau yang lain. Beberapa jenis kinerja tergantung pada aliran umpan balik yang terus menerus, misalnya umpan-balik indera internal (mata) dan umpan balik visual eksternal (benda yang dilihat).
Seseorang merasakan saat dia bergerak, memungkinkan dia untuk berjalan tegak, kehilangan dan pemulihan keseimbangan dengan setiap langkah. Visual masukan dari jalan raya di depan sebuah mobil bergerak memberikan umpan balik setiap gerakan roda, sebagai tanggapan terhadap gerakan berikutnya dibuat, dalam urutan yang tidak pernah berakhir. Contoh-contoh ini selalu berjalan dan ini menggambarkan peran penting dari umpan balik, dan saling bergantian dalam fungsi sekuensial cepat dengan kinerja.
Gambar 1 Feedback Loop



Kerangka konseptual

Sejumlah kerangka kerja konseptual yang ada di dalamnya untuk memeriksa umpan balik. Kedua yang akan menjadi fokus di sini adalah umpan balik dalam komunikasi dan umpan balik mengenai kualitas dan akseptabilitas pegformance. Sementara konsep psikologis perkuatan kontroversial dalam teori perilaku dan kognitif paling modern pembelajaran dan kinerja, kontroversi tidak akan ditangani sama sekali dalam bab ini, sedangkan reinforcemenl istilah yang digunakan di sini dalam arti yang pragmatis, untuk merujuk pada satu jenis dan fungsi dari umpan balik, meskipun istilah deskriptif dan umpan balik positif umumnya akan digunakan sebagai gantinya.

Terlepas dari peran penting dari pendekatan sistem di antara teknologi instruksional dan Teknologi Kinerja Manusia (HPT), makna dari istilah umpan balik positif dan umpan balik negatif dalam model sibernetika (Wiener, 1961) tidak akan dibahas di sini. Komentar cybernetic memiliki arti sendiri fungsional tertentu, agak berbeda dari aplikasi ketiga sameterms belajar manusia dan kinerja.

Kerangka acuan yang digunakan di sini sangat menarik pada karya Gilbert (1978). Ia membuat titik bahwa pesan data, terlepas dari sifat mereka, menjadi informasi hanya ketika mereka menginformasikan. (Ini kriteria yang sama berlaku untuk proses yang melibatkan informasi, seperti instruksi, pelatihan, dan memberikan arah, data yang disajikan menjadi instruksi, pelatihan, dan arah hanya ketika mereka menghasilkan hasil-ketika mereka memiliki efek diverifikasi pada kinerja atau pada perbendaharaan kinerja. ) Dari paling penting di sini adalah informasi yang mengarahkan informasi performanceand yang melayani satu atau lebih fungsi umpan balik. Dasar untuk proses ini adalah komunikasi, transfer informasi.

Komunikasi

Komunikasi adalah hal yang sangat penting untung pengembangan kinerja, Dalam komunikasi pesan dikirim dari pengirim ke penerima. Dalam konteks ini, pesan dapat terdiri dari kata-kata atau data visual, data tersebut dimaksudkan untuk berfungsi sebagai informasi. Gilbert mengatakan, komunikasi digunakan untuk menginformasikan.
Sedangkan perbedaan antara pesan dan informasi adalah, pesan adalah data mentah yang masih belum mendapatkan makna, sedangkan informasi adalah pesan yang bermakna yang dapat dimengerti oleh penerima pesan.
Seperti pengertian diatas bahwapesan tidak harus bermakna, berbeda dengan pemberian informasi yang harus bermakna, maka pesan baik dikirimkan dengan lisan, tertulis, atau dalam bentuk visual tidak harus dipahami oleh desender, dan jika ini terjadi maka tidak akan membentuk timbale balik, karena yang menerima pesan tidak memahami makna pesan yang disampaikan, hal ini dalam ilmu komunikasi disebut “noise”, maka penting bagi seseorang agar kinerja lancer adalah dengan komunikasi yang lancer, dan harus mendapatkan “back” balikan, ketika kita memberikan umpan. (Gambar 2)

Gambar 2. Messages With and Without Information.


(a) The message does not inform


(b) Informan has been transmitted
Communication has been accomplished


Sistem umpan balik

hanya di akhir pengirim. Tapi salah satu menyatakan Murphy disebut hukum-hukum, dengan akurasi disayangkan, "Jika Anda membuat pesan begitu jelas bahwa tidak ada yang mungkin bisa salah paham itu, seseorang akan." Penerima memiliki tanggung jawab memperhatikan, mencoba memahami, berinteraksi dengan , dan mengingat rincian pesan.
Bagaimana pengirim menentukan sejauh mana pesan yang disampaikan informasi dan menentukan rincian yang berhasil dikomunikasikan? Bagaimana receiver dapat menentukan apakah ia telah memahami semua rincian dimaksudkan pesan? Keduanya tanggung jawab yang terbaik dipenuhi melalui penggunaan umpan balik. Umpan balik dapat diminta oleh pengirim, meskipun permintaan harus lebih spesifik daripada yang populer dan tidak efektif "Apakah kamu mengerti?" Kadang-kadang penerima bisa menjawab dengan persetujuan, untuk menghindari iritasi pengirim, atau karena dia keliru percaya bahwa ia informasi lengkap dengan pesan Pertanyaan "Apakah kamu mengerti?" sebenarnya tidak adil dan tidak pantas:. hanya pengirim (atau manajer) yang memenuhi syarat untuk menentukan apakah penerima (atau bawahan) telah memahami pesan tersebut secara lengkap dan benar Pengirim dapat memperoleh. lebih bermanfaat dan informasi yang tepat dengan bertanya apa penerima berpikir pesan atau, lebih baik lagi, apa penerima akan lakukan sebagai respon terhadap informasi yang diterima. ini permintaan oleh pengirim ditunjukkan pada Gambar 3
Gambar 3. The Sender Requests Feedback.

*Question about message
Feedback: message as understood

Dalam mengambil inisiatif tentang pesan, penerima memiliki beberapa pilihan. Jika dia bingung atau tidak yakin, ia dapat meminta tambahan, mengklarifikasi informasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Dalam hal ini, permintaan penerima adalah bentuk offeedback, memberitahu pengirim bahwa pesan yang tidak memadai
Figure 18.4. The Receiver Provides Feedback

*Asks for clarification
Second Message

Kalau memang dirasa informasi masih kurang penerima dapat mengkonfirmasikan apa yang kurang dari informasi tersebut, sehingga dapat dipahami.

Originalitas dan Pengaruh Kinerja.
Sebuah kinerja sekarang mengacu pada pelaku, pendidikan masa lalu dan pengalaman, sikap, minat dan motivasi, dan pekerjaan, pelatihan relatif dalam bentuk keterampilan saat ini, pengetahuan, dan kemampuan. Ini adalah ditampilkan di bagian kiri bawah Gambar 5, akan melengkapi kemampuan mereka, memodifikasi aplikasi mereka, atau menekankan bagian-bagian yang akan digunakan untuk suatu tugas tertentu. Selanjutnya performance akan menambahi tingkatan komunikasi yang selanjutnya, seperti yang tercantum dalam Gambar 5, tidak memadai untuk tugas yang diperlukan (misalnya, pelatihan yang tidak memadai atau lupa, peralatan tidak memadai, dan sebagainya). Kinerja juga dapat gagal, maka perlu diadakan pengawasan kinerja yang matang, agar kinerja berjalan sesuai dengan rel yang sudah ditentukan dalam visi-misi.
Gambar 5,: hubungan umpan balik



Fungsi umpan balik
Pada intinya fungsi feddback adalah untuk mengoreksi yang berimbas pada perbaikan kinerja, agar memuaskan, dan agar memperkuat fungsi kerja (Tosti, 1978; Brewer, 1989).

Feddback dan kinerja manusia
Unpan balik dan kinerja manusia ini juga sangat penting, karena teknologi kinerja adalah diperuntukkan bagi manusia bukan mahluk yang lain
Jika ada respon atau feddback dari A terhadap Byang memberukan umpan sebelumnya, berarti itu baik, namun jika sebaliknya, maka harus di periksa mana kekuranggannya dan harus segera diperbaiki

Memperkuat Komentar
Memperkuat komentar adalah salah satu bagian penting agar kinerja semakin aktihf dan berjalan rapi sesuai dengan yang di inginkan, feddback ini akan penting sekali jika memang kinerja sudah melemah, biasanya feddback ini menggunaka motifasi sebagai sarana dalam penyampaiannya. Dan sebagai taraf selanjutnya adalah dengan evaluasi.

Feedback pasif dan aktif
1. umpan balik pasif karena tidak mengidentifikasi bentuk khusus dari panduan, kekurangan atau mengarahkan mengulangi, atau menyediakan bimbingan untuk mengubah kinerja dari tidak bisa diterima diterima . Bahkan jika feedback tidak mengidentifikasi kelemahan tertentu, ia pasif kecuali menyediakan informasi yang membimbing dan mengarahkan modifikasi kinerja yang diinginkan. feedback pasif hanya mengidentifikasi kinerja tidak dapat diterima.
Contoh: Jika seorang pekerja menyelesaikan tugas dan supervisor memberikan umpan balik seperti "Tidak, pekerjaan yang tidak benar dan saya tidak akan menerimanya. Lakukan lagi”.
Pengecualian terhadap pernyataan ini melibatkan umpan balik kepada seorang pekerja berpengalaman yang hanya perlu memiliki diidentifikasi untuk mengetahui bagaimana untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan.
2. Komentar aktif memodifikasi dan memperbaiki kinerja; Ini adalah umpan balik formatif hanya dalam minimal cara-mengatakan
Seperti penguat umpan balik, umpan balik formatif memerlukan evaluasi mendalam kinerja dan hasilnya dan pelaku. Seorang pekerja berpengalaman umumnya perlu umpan balik kurang rinci formatif aktif dibandingkan pekerja baru yang relatif tidak berpengalaman.

Waktu feedback

Umpan balik, telah dikatakan, harus diberikan segera setelah kinerja, jika dan penelitian belajar psikologis pada penggunaan mendukung penguatan bahwa pandangan (Skinner, 1953). Walaupun studi pembelajaran manusia dan umpan balik (misalnya, Shook, johnson, dan Uhlman, 1978; Miller, 1977) telah ditemukan atau umpan balik yang efektif atas penundaan yang lama. Penelitian lain yang dipimpin peneliti (Evans, Glaser, dan Homme, 1962) menyimpulkan bahwa bentuk feedback perbaikan tidak mudah dijelaskan dari sudut pandang penguatan. Mungkin persyaratan waktu untuk umpan balik, terutama umpan balik formatif, perlu melihat lebih dekat.

Dalam kasus baru, karyawan relatif tidak berpengalaman, penguat umpan balik umumnya harus segera, tepat setelah kinerja yang sukses, untuk menghilangkan ambiguitas atau ketidakpastian tentang penerimaan kinerja. ("Komentar Internal," yang akan dibahas, dapat menjelaskan efektivitas tertunda memperkuat umpan balik dengan pemain yang lebih berpengalaman.
Komentar Formatif, dibuat perlu oleh kinerja tidak dapat diterima, hampir selalu datang antara dua contoh melaksanakan tugas tugas yang sama orsimiliar,

Reaksi dari Penerima Komentar hukuman

Umpan balik, aktif atau pasif, setelah kinerja dapat diterima kadang-kadang disebut sebagai umpan balik negatif (Fisher, 1979). Istilah itu telah akrab sini karena konotasi nya, menyiratkan marah daripada bantuan konstruktif yang Komentar formatif dirancang untuk memberikan. Pengawas kadang-kadang melakukan memberikan umpan balik yang kritis dan hukuman ketika kinerja pun berubah kacau dan harapan tidak terpenuhi. Hal ini bisa terjadi sengaja, sebagai tindakan disipliner, tetapi kadang-kadang terjadi hanya karena frustasi

Supervisor, Ketidaksabaran, dan Kemarahan.

Jarang seorang ahli melakukan setiap langkah dan komponen tugas tidak benar, dan jarang seorang ahli gagal melakukan bagian dari yang memang tugasnya, hal ini akan terjadi jika terjadi kecacatan terhadap kinerja. Manajer yang memberikan marah (negatif) umpan balik, yang berarti bahwa setiap aspek kinerja yang rusak, yang menjatuhkan hukuman untuk diterima serta bagian yang tidak dapat diterima kinerja. Memang, produk akhir mungkin benar-benar tidak dapat diterima jika mengalami cacat, tetapi manajemen kinerja harus mencakup penguat umpan balik untuk aspek-aspek kinerja yang dilakukan dengan benar.

Ketika kinerja berjalan serba salah

Sering terjadi pada pegawai yang baru, dan minim dengan pengalaman, sehingga jika tidak mendapatkan pelatihan dengan sungguh-sungguh, maka akan terjadi penurunan, dan ini akan menjadi jalan kinerja yang buruk, atau cacat.
Dijelaskan dalam handbook, bahwa ketika orang yang baru bekerja dan tidak mengerti apa-apa terus melakukan kesalahan dan terus salah, kemungkinan akan berbohong, agar kinerja yang dikerjakannya dianggap baik, danini pasti akan merusak system, yang menuju pada kebrobrokan perusahaan

Evaluasi Diri dan Saran Internal

Seorang pemain tingkat penguasaan-tidak harus meminta supervisor, "Apakah ini selesai dan benar?" Tidak seperti trainer atau magang, artis master bisa dan memberitahu diri ketika produk akhir memenuhi kriteria yang ditetapkan evaluasi diri seperti ini tidak dilakukan hanya sekali. , pada akhir tugas lengkap, itu adalah proses yang berkelanjutan, yang dilakukan pada setiap langkah tugas.
Umpan balik berfugsi sebagai penghilang ambiguitas ,kinerja, namun umpan balik harus dapat terus menerus menyediakan diri dengan umpan balik internar evaluative, seperti gambar 6.







Gambar 6. Initernal; and External Feedback







SISTEM INSENTIF
Insentif dirtikan sebagai imbalan organisasi atas prestasi individu atau kelompok kerja. Dengan kata lain, insentif organisasi merupakan perolehan atau produk kerja yang mereka lakukan. Insentif itu juga dapat berupa keuntungan atau hukuman yang diberikan secara bergantian sesuai dengan kontribusi individu terhadap organisasi. Peranan fundamental insentif antara lain dikemukakan oleh Chester I Barnard (1978), yang mengatakan bahwa insentif yang tidak adekuat (inadequate insentives) berarti penghancuran (dissolution), terdeviasinya tujuan organisasi, atau cerminan kegagalan kerja sama. Konsekuensinya, organisasi harus mengembangkan proses distributive atau system insentif untuk membangkitkan kelompok kerja, sehingga pekerjaan itu di selesaikan secara bekerja sama .
Barnard mengatakan bahwa manajer organisasi menghadapi masalah yang bersifat dilematis, yaitu menemukan insentif di satu pihak dan menghilangkan insentif negative di pihak lain. Posulat barnard, bahwa ada dua jenis insentif yang sangat di perlukan bagi manusia organisasional, yaitu pikatan-pikatan atau insentif khusus (specific inducement) yaitu aspek material, personal atau nirmaterial, kondisi fisik kerja yang diinginkan, dan kebajikan ideal. dan insentif umum (general incentive) diasosiasikan sebagai bersifat menarik hati, seperti kekompakan social, metode, dan sikap bekerja, kesempatan memperbesar partisipasi dalam pembuatan keputusan (shared decision making) dan kombinasinya, yang di dukung oleh organisasi informal dan sikap individual.
1. Insentif khusus
• Material
• Nirmaterial
• Kondisi fisik kerja yang di inginkan
• Kebajikan ideal
2. Insentif umum
• Kekompakkan social
• Metode dan sikap dalam bekerja
• Kesempatan memperbesar partisipasi dalam pembuatan keputusan
• Iklim organisasi yang bernuansa informal
• Sikap-sikap individual

Sistem insentif harus meliputi tiga aspek yaitu:
1. Intensionalitas (kesengajaan / di sengaja)
Tindakan karyawan dalam perusahaan diikuti reward atau punishment. Beberapa reward yang memang sengaja dibuat seperti: bonus untuk kehadiran yang teratur, atau tidak teratur. Sementara yang lain seperi: pujian dari seorang pelanggan atau keluhan dari klien tidak termasuk dalam rewar meskipun hal itu mempengaruhi kinerja karyawan. Karena system insentif sengaja dikembangkan dengan tujuan mempengaruhi kinerja karyawan.
2. Eksternalitas
Konsekuensi dari aktivitas kerja dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori:
a) Internal terhadap karyawan (keberhasilan, rasa bangga dapat meningkatkan rasa percaya diri),
b) Internal kepada kelompok kerja (persetujuan rekan dapat meningkatkan semangat tim),
c) Eksternal dari klien dan pelanggan (surat dari seorang pelanggan yang puas), dan
d) Eksternal dari perusahaan (pujian dari pengawas dan kenaikan gaji).
Apakah sistem insentif itu berhubungan dengan tiga kategori pertama atau tidak, yang pasti system insentif harus berhubungan dengan kategori keempat.
3. Standardisasi
Sistem insentif harus menentukan prosedur standar dalam mengidentifikasi:
a) Karyawan, Identifikasi memungkinkan memilih karyawan yang cocok sesuai dengan karakteristik karyawan yang diharapkan,
b) Insentif atau reward, dan prosedur untuk memberikan reward kepada individu atau atau tim. Dalam sistem insentif yang komprehensif, seluruh karyawan diidentifikasi dan diklasifikasikan ke dalam grup yang diperlukan.
c) Kegiatan. Sistem insentif juga mengidentifikasi kegiatan dan prestasi untuk setiap kelompok karyawan. Hal ini mengharuskan organisasi untuk menentukan tujuan yang jelas dan untuk menghubungkan tujuan kegiatan yang berkontribusi terhadap pencapaian efisiensi karyawan. Sistem insentif harus sesuai dengan proram insentif untuk kegiatan yang beragam dan prestasi-prestasi yang dicapai.
Karakteristik Variabel system Insentif
Setelah insentif meliputi tiga aspek diatas, maka dalam karakteristik variable ini mengidentifikasi siapa yang harus diberi reward dan mengapa. Menurut Henderson dan Risher (1987), analisis yang berbedadari dimensi kompensasi dan komponen:
1. Variasi Tujuan
Sementara semua sistem insentif berusaha untuk meningkatkan kegiatan dan prestasi kerja individu, sistem insentif yang berbeda dapat menekankan tujuan yang berbeda pula (Lawler, 1981). Berikut adalah tiga tujuan sistem insentif:
a) Perekrutan. Hal ini berarti mendorong orang yang kompeten untuk bekerja dalam perusahaan (misalnya, dengan mengundang karyawan yang potensial minum dan makan malam untuk wawancara rekrutmen dan outbidding kompetisi).
b) Retensi. Ini berarti mencegah karyawan-karyawan yang kompeten meninggalkan perusahaan (misalnya, dengan memberikan karyawan bonus tahunan memberikan iklim kerja yang nyaman).
c) Hasil. Hal ini berarti mendorong orang yang kompeten untuk mencapai lebih banyak prestasi untuk perusahaan (dengan menghubungkan membayar mereka untuk produktivitas dan menyediakan pelatihan dan peralatan yang dibutuhkan untuk kinerja yang maksimal).
2. Variasi karyawan
Sistem insentif berurusan dengan berbagai tanggung jawab pekerjaan dan proyek, mulai dari kustodian kepada CEO. Beberapa variasi dalam menangani karyawan akan dijelaskan di sini:
a) Pengelompokan karyawan. Beberapa sistem insentif membagi karyawan dalam setiap kategori pekerjaan ke berbagai subkelompok. Sebagai contoh, wordprocessor operator dalam sebuah pengalaman mereka atau lokasi geografis mereka. sistem insentif lain (terutama di organisasi yang baru didirikan) dapat memperlakukan semua karyawan pada dasarnya sama.
b) Individual Versus Insentif Group. Beberapa insentif fokus pada reward untuk produktivitas individu (misalnya, dengan pemilihan karyawan teladan), sementara yang lain mendorong kinerja kelompok (misalnya, dengan memberikan bonus untuk tim).
3. Variasi Kinerja
Insentif sistem untuk penghargaan berbagai kegiatan fisik, verbal, intelektual, dan interpersonal dan prestasi, yang merupakan komponen penting dari fungsi pekerjaan. Berikut adalah beberapa penekanan alternatif dalam cara mereka memeberi reward pada aspek penting dalam kinerja:
a) Pemeliharaan Versus Perbaikan. Beberapa sistem insentif reward karyawan untuk menjaga tingkat kinerja tertentu (misalnya, dengan membayar gaji bulanan reguler), sementara yang lain berfokus pada perbaikan kinerja (misalnya, dengan membayar jasa khusus).
b) Potensi Versus Realisasi Kinerja. Beberapa sistem insentif member reward untuk performa yang lebih baik (misalnya, dengan membayar gaji yang lebih tinggi kepada orang-orang dengan kualifikasi pendidikan lebih tinggi), sementara yang lain membayar untuk kinerja actual terlepas dari kualifikasi pendidikan mereka.
c) Kegiatan Versus Pencapaian. Beberapa sistem insentif reward kepada karyawan untuk kinerja mereka (misalnya, dengan membayar mereka dengan jam), sementara yang lain member reward mereka untuk target mereka (misalnya, dengan membayar mereka untuk jumlah barang yang diproduksi).
d) Jangka Pendek Jangka Panjang Versus Pencapaian. Beberapa sistem insentif reward prestasi pemain untuk jangka pendek, sementara yang lain memperkuat dampak jangka panjang. Sebagai contoh, CEO mungkin member reward untuk merekap keuntungan selama kuartal terakhir, tahun terakhir, atau sepuluh tahun terakhir.
4. Variasi Insentif
Secara umum, insentif ini dapat diklasifikasikan ke dalam kategori moneter dan non moneter. insentif Moneter (Tabel 19.1) meliputi gaji, tunjangan, suplemen dalam bentuk gaji, bonus, dan manfaat. insentif non moneter (Tabel 19,2) termasuk peningkatan kondisi kerja, alat dan. peralatan, pengawasan, pelatihan, dukungan profesional, dan kesempatan karir.
Kebanyakan sistem insentif menggunakan hadiah untuk mendorong perilaku yang diinginkan. Beberapa juga menggunakan insentif negatif (hukuman) untuk mencegah perilaku yang tidak diinginkan. Contoh insentif negatif termasuk docking, membayar denda karena tidak hadir atau terlambat, untuk pelanggaran keamanan, suspensi untuk pelanggaran kebijakan, dan holding membayar untuk mengundurkan diri tanpa pemberitahuan yang memadai, tertulis peringatan, kritikan, evaluasi negatif, dan pemberhentian untuk perilaku yang tidak pantas yang berkelanjutan.
5. Variasi Waktu
Beberapa sistem insentif secara langsung berhubungan dengan kegiatan target atau prestasi dengan reward, sementara yang lain penundaan reward. Sebagai contoh, seorang tenaga penjualan mungkin akan diberi komisi besar dan kuat segera (segera setelah pesanan pembelian ditandatangani), setelah sedikit keterlambatan (saat pembayaran diterima), atau setelah penundaan yang lama (setelah hari raya berikutnya). Frekuensi hadiah erat terkait dengan konsep waktu. Sebagai contoh, pembayaran bonus atau penghargaan karyawan yang bergilir dapat dilakukanseminggu sekali, perbulan, perempat bulan atau pertahun.

















6. Kelengkapan Sistem Insentif
Dari karakteristik variabel insentif diatas dapat di pakai bersama-sama, atau untuk melengkapi kekurangan. Sebuah sistem yang sangat komprehensif mengidentifikasi beberapa tingkat dan kategori kinerja, menentukan perilaku yang diinginkan secara detail, hasil yang diharapkan, dan strategi pengukuran, menyediakan berbagai insentif dalam berbagai kategori, dan menetapkan prosedur rinci untuk distribusi mereka; Sebuah sistem kurang komprehensif jika hanya mengidentifikasi beberapa pemain penting, pertunjukan, insentif, dan prosedur saja.
Sistem insentif yang lebih komprehensif membutuhkan waktu dan biaya yang jauh lebih besar untuk mengembangkan dan melaksanakan tetapi mungkin tidak efektif jika kurang satu kelengkapan. Efektivitas sistem tergantung pada memilih yang paling tepat variasi-pada setiap tema agar sesuai dengan situasi.


Sumber bacaan:
Sudarwan Danim, prof. Dr. Kinerja Staf dan Organisasi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
Stolovitch, Harold D dan Erica J. Keeps, Handbook Of Human Performance Technology, (National Society FOR Performance And Intruction).

Rabu, 24 November 2010

INTEGRASI TEKNOLOGI DALAM MANAJEMEN TOKO BUKU


Pendahuluan
Pengintegrasian Teknologi Informasi di TOKO BUKU
OLEH: NUR ISLAMIYAH MUCHSIN
Menjamurnya toko buku tradisional dikalangan masyarakat tak sebanding dengan antusiasme mereka untuk mengunjungi toko buku-toko buku ini, karena kurangnya fasilitas dan kenyamanan pengunjung membuat toko buku semacam ini tidak begitu diminati dan akhirnya beralih ke toko buku besar, seperti Gramedia, Gunung Agung dll. Padahal justru toko buku tradisional paling potensial menjual koleksinya karena berada dekat dengan masyarakat dan buku yang tak kalah lengkap dengan toko buku besar, bahkan banyak toko buku tradisional yang masih menyediakan buku-buku terbitan lama, yang sebenarnya masih banyak dicari oleh para mahasiswa dan pelajar untuk memenuhi referensi mereka tidak seperti di toko buku besar, selain itu toko buku seperti ini juga memberikan harga yang lebih murah karena persentasi yang diberikan penerbit untuk penjual dishare sebagian untuk pembeli dengan harapan masyarakat lebih tertarik mengunjungi toko buku tradisional.
Berkaca pada pengalaman itulah kami hendak mengintegrasikan teknologi system informasi berupa data base untuk mempermudah pengunjung dalam mengakses berbagai macam iformasi mengenai toko buku kami dan apa yang ada didalamnya. Pemanfaatan perangkat Teknologi Informasi database ini diharapkan mampu memberikan kenyamanan para pengunjung untuk mencari informasi referensi sedalam-dalamnya. Dan  memfasilitasi mereka membaca testimony dari setiap buku yang diinginkan.
Kondisi-kondisi Esensial Pengintegrasian Teknologi yang Efektif

Bagaimana agar pengintegrasian teknologi kedalam kurikulum dapat berhasil efektif? Hal-hal apa saja yang harus dipikirkan dan dipersiapkan? Adalah tindakan yang cerdas dan bijak memperhatikan apa yang dikemukakan oleh  M.D. Robiyer dalam Integrating  Educational Technology into Teaching yang dalam diagramnya memberi solusi mengenai kondisi-kondisi esensial yang harus diperhatikan dan dilakukan agar pengintegrasian teknologi dalam suatu lembaga pembelajaran dapat berjalan efektif.  Berikut adalah kondisi-kondisi esensial,  dalam melaksanakan program pengintegrasian teknologi kedalam kurikulum agar dapat berhasil bernilai guna dan efektif:

ü  Berbagi Visi
Visi mengenai pentingnya mengintegrasikan teknologi kedalam manajemen book store harus dibai kepada kepala toko, karyawan dan semua staf yang terlibat dalam manajemen toko agar mendapatkan dukungan keberlangsunag pengintegrasian teknologi berupa data base di dalam book store. Kami memiliki visi yakni menjadikan pembaca dan penjual cerdas, dengan pemanfaatan database ini setiap individu baik pengunjung ataupun karyawan dapat mengakses semua jenis buku, judul dan indeks yang terdapat didalamnya, sehingga pengunjung tidak pernah merasa keliru membeli buku dalam rangka referensi ataupun hobi.
ü  Dukungan Kurikulum dan Standard
Pengintegrasian teknologi informasi berupa database akan menjadikan bookstore tidak hanya sebagai penyedia kebutuhan namun juga sebagai sumber belajar yang semakin memberi kemudahan kalangan pelajar maupun umum didalam mengakses ilmu pengetahuan.
ü  Pembuatan Kebijakan
Pimpinan manajemen bookstore harus membuat kebijakan mengenai diintegrasikannya teknologi informasi database,  dengan tujuan agar seluruh karyawan siap mendukung program pengintegrasian ini.
ü  SDM Terlatih
Setiap karyawan akan mengikuti pelatihan dalam rangka pengintegrasian teknologi database ini, isi dari pada pelatihannya yakni meliputi apa itu database yang akan digunakan?, mengapa harus menggunakan database? dan bagaimana kah pengoperasian database secara professional serta mampu menjadi tempat bertanya para pengunjung. Tanpa itu semua maka sisitem tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan, dan pengoperasian system tidak akan maksimal. Aktifitas dan pelatihan haruslah secara seksama mendapatkan panduan dan terstruktur, sehingga seluruh staf yang terkait benar-benar terlibat dalam aktifitas pembelajaran pengoperasian database ini.
ü  Akses Hardware, Software dan Sumber lain
Perlu banyak mengakses situs-situs penyedia layanan system hardware atau lewat informasi teman sejawat yang mereferensikan, pemilihan database ini haruslah akurat sebab banyak penyedia yang memberikan promo kelebihan suatu system tanpa membeberkan kelemahannya, spesifikasi software dan hardware haruslah diperhatikan. Kompatibilitas dari hardware, software dan sumber peripheral lain mutlak diperlukan karena tanpa dukungan perangkat yang saling kompatibel teknologi informasi yang akan diintegrasikan ini tidak akan berfungsi optimal, atau bahkan tidak dapat beroperasi.   
ü  Bantuan Teknis
Hal yang tidak kalah penting adalah perlunya bantuan teknis tidak hanya dari vendor penyedia perangkat keras dan perangkat lunak, tetapi juga dari provider jaringan serta ahli IT yang akan berperan sebagai content developer.

Kegunaan Pengintegrasian Teknologi database dalam Book Store
Teknologi bukan memegang peranan yang paling penting dalam proses pembelajaran. Dalam book store yang mengintegrasikan teknologi, para pengunjung dapat menggunakan database untuk mencari informasi, melihat isi buku, dan mencari indeks kata yang dibutuhkan dalam system dibeberapa komputer. Penggunaan database akan membuat pengunjung lebih cerdas dalam memilih bahan referensi mereka, dan tidak merasa telah membeli buku yang salah, pengintegrasian teknologi database kedalam book store pastilah lebih baik dibandingkan dengan book store yang tidak menggunakan system ini karena pengujung hanya pasif, hanya bertanya seadanya tentang buku apa yang mereka butuhkan dan caster pun menjawab seadanya sepengethauan yang mereka tahu dan itu sangat sedikit sekali dibandingkan dengan jumlah judul buku yang sudah ribuan.


Sabtu, 20 November 2010

PENDIDIKAN ISLAM DARI ASPEK ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI

PENDIDIKAN ISLAM
(Kurikulum Pendidikan Islam)
OLEH: NUR ISLAMIYAH MUCHSIN

Dasar falsafah kurikulum pendidikan Islam memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan islam, dengan dasar filosofis, sehingga susunan kurikulum mengandung suatu kebenaran dibidang nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini sebagai suatu kebenaran. Dasar filosofis mengandung sistem nilai, baik yang berkaitan dengan nilai dan makna hidup dan kehidupan, masalah kehidupan, norma-norma yang munculdari individu, sekelompok masyarakat, maupun suatu bangsa yang dilatorbelakangi oleh pengaruh agama, adat istiadat, dan konsep individu tentang pendidikan.
Dasra filosofis membawa rumusan kurikulum pendidikan Islam pada tiga dimensi, yaitu dimensi ontologism, dimensi epistemologis dan dimensi aksiologis.
1.      Ontologi
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada  tiga term yaitu:
a.      Al tarbiyah, penggunaan istilah ini berasala dari kata Rabb walaupun kata ini memiliki banyak arti akan tetapi pengertian dasarnya menunjukan kata tumbuh, berkembang, memelihara, merawat,  mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Kata ini paling banyak digunakan dibandingkan dengan istilah lainnya.
b.      Al-Ta’lim, kata ini telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal dibandingkan dengan istilah al-tarbiyah maupun al-ta’dib, Rasyid Ridha, mengartika al Ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan  pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.
c.       Al-Ta’dib, menurut al-Attas, istilah  yang paling tepat untuk menunjukan pendidikan islam adalah al-Ta’dib, kata ini berarti pengenalalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kedalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan.[1]
Terlepas dari keempat  istilah di atas, secara terminologi, para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformulasikan pengertian pendidikan Islam diantaranya adalah Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran islam.[2]
Menurut Drs. Ahmad D. Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama (kepribadian muslim) menurut ukuran-ukuran Islam.[3] Sedangkan menurut Rahman Nahlawi: “Pendidikan Islam adalah pengaturan pribadi dan masyarakat sehingga dapat memeluk islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kolektif.
Sedangkan menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung, Pendidikan Islam ialah pendidikan yang memiliki 4 macam fungsi yaitu:
a.       Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan dating. Peranan ini berkaitan erat dengan kelanjutan hidup (survival) masyarakat sendiri.
b.      Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda.
c.       Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan untuk emelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi bagi kelanjutan hidup suatu masyarakat dan peradaban. Dengan kata lain, tanpa nilai-nilai keutuhan (integrity) dan kesatuan (integration) suatu masyarakat tidak akan terpelihara, yang akhirnya akan berkesudahan dengan kehancuran masyarakat itu sendiri.
Adapun nilai-nilai yang dipindahkan ialah nilai-nilai yang diambil dari 5 sumber yaitu: al-Qur’an, Sunah Nabi. Qiyas, kemaslahatan umum dan kesepakatan atau ijma’ ulama-ulama serta nilai-nilai pikir Islam yang dianggap sesuai dengan sumber dasar yaitu al-Qur’an dan Sunah Nabi.
d.      Mendidik anak agar dapat beramal didunia ini untuk memetik hasilnya di akhirat.[4]
Dari batasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. Melalui pendekatan ini, ia akan dapat dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diyakininya.
Dasar Falsafah Kurikulum Pendidikan Islam
Dasar kurikulum adalah kekuatan-kekuatan utama yang mempengaruhi dan membentuk materi kurikulum, susunan atau organisasi kurikulum. Dasar kurikulum disebut  juga sumber kurikulum atau determinan kutikulum (penentu).
Herman H. Horne memberikan dasar kurikulum dengan tiga macam, yaitu:
1.      Dasar psikologis, yang digunakan untuk mengetahui kemampuan yang diperoleh dari pelajar dan kebutuhan peserta didik  (the quality and needs of children).
2.      Dasar sosiologis, yang digunakan untuk mengetahui tuntutan sah dari masyarakat (the legitimate demand of society).
3.      Dasar filosofis, yang digunakan untuk mengetahui keadaan alam semesta tempat kita hidup (the kind of universe in which we live).[5]
Dalam persepektif Islam, pendapat Herman di atas sesungguhnya belum menjamin bahwa suatu kurikulum dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, karena belum memasukan dasar religious yang wajib diresapi oleh peserta didik sejalan dengan tujuan yang ditetapkan. Sebagaimana makna pendidikan Islam yang telah di jabarkan di muka.
Dimensi ontologis mengarakan kurikulum agar lebih banyak memberi peserta didik untuk berhubungan langsung dengan fisik objek-objek, serta berkaitan dengan pelajaran yang memanipulasi benda-benda dan materi-materi kerja. Dimensi ini menghasilkan verbal learning (belajar verbal), yaitu berupa kemampuan memperoleh data dan informasi yang harus dipeljari dan di hafalkan. Dimensi ini diambil dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh Allah SWT. Kepada Nabi Adam as, dengan mengajarkan nama-nama benda, seperti termaktub alam firman Allah Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 31.
Implikasi dimensi ontology dalam kurikulum pendidikan ialah bahwa pengalaman yang ditanamkan kepada peserta didik tidak hanya sebatas pada alam fisik. Maksud alam tak terbatas adalah alam rohaniah atau spiritual, yang menghantarkan manusia pada keabadian. Disamping itu, perlu juga ditanamkan pengetahuan tentang hukum dan sistem kemestaan yang melahirkan perwujudan harmoni di dalam alam semesta termasuk hukum dan tata tertib yang menentukan kehidupan manusia di masa depan.[6]
2.      Epistemologi
Ilmu pendidikan Islam mempunyai ruang lingkup sangat luas, karena didalamnya penuh dengan segi-segi atau pihak-pihak yang ikut terlibat baik langsung ataupun tidak langsung.
Objek ilmu pendidikan Islam ialah situasi pendidikan yang terdapat pada dunia pengalaman. Di antara objek atau segi ilmu pendidikan Islam dalam situasi pendidikan Islam ialah:
1.      Perbuatan mendidik itu sendiri.
Yang dimaksud dengan perbuatan mendidik di sini ialah seluruh kegiatan, tindakan atau perbuatan dan sikap yang dilakukan oleh pendidik sewaktu menghadapi atau mengasuh anak didik. Atau dengan istilah yang lain yaitu, sikap atau tindakan menuntun, membimbing, memberikan pertolongan dari seseorang pndidik kepada anak didik untuk menuju ke tujuan pendidikan Islam. Dalam perbuatan mendidik ini sering disebut dengan istilah tahdzib atau ta’lim.
2.      Anak didik yaitu pihak yang merupakan objek terpenting dalam pendidikan. Hal ini disebabkan perbuatan atau tindakan mendidik itu diadaka atau dilakukan hanyalah untuk membawa anak didik kea rah tujuan pendidikan islam yang kita cita-citakan. Dalam pendidikan Islam anak didik ini sering isebut dengan istilah yang bermacam-macam, antara lain: santri, thalib, muta’alim, muhazab, tilmiz.
3.      Dasar dan tujuan pendidikan Islam yaitu landasan yang menjadi fondamen serta sumber dari segala kegiatan pendidikan islam itu dilakukan. Maksudnya, pelaksanaan pendidikan Islam harus berlandaskan atau bersumber dari dasar tersebut. Dalam hal ini dasar atau sumber pendidikan Islam ialah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan tujuan pendidikan Islam yaitu arah kemana anak didik ini akan dibawa. Secara ringka, tujuan pendidikan Islam yaitu ingin membentuk anak didik menjadi manusia (dewasa) muslim yang takwa kepada Allah SWT atau secara ringkas, kepribadian muslim.
4.      Pendidik yaitu subjek yang melaksanakan pendidikan Islam, dan pendidk ini mempunyai peranan penting terhadap berlangsungnya pendidikan. Baik atau buruknya pendidik berpengaruh besar terhadap hasil pendidikan Islam, pendidik sering disebut mu’allim, muhazib, ustaz, kiai, dan sebagainya. Di sampinng itu ada pula yang menyebutnya dengan istilah mursyid, artinya yang member petunjuk, karena mereka memang memberikan petunjuk-petunjuk kepad anak didiknya.
5.      Materi pendidikan Islam yaitu bahan-bahan atau pengalaman-pengalaman belajar ilmu agama Islam yang disusun sedemikian rupa (dengan susunan yang lazim tetapi logis) untuk disajikan atau disampaikan kepada anak didik. Dalam pendidikan Islam materi pendidikan ini sering disebut dengan istilah maddatuttarbiyah.
6.      Metode pendidikan Islam ialah cara yang paling tepat dilakukan oleh pendidik untuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan Islam kepada anak didik. Metode di sini mengemukakan bagaiman mengolah, menyusun dan menyajikan materi pendidikan Islam agar materi pendidikan islam tersebut dapat dnegan mudah diterima dan dimiliki oleh anak didik. Dalam pendidikan Ilsma metode pendidkan ini disebut dengan istilah tariqatuttarbiya atau tariqatuttahzib.
7.      Evaluasi pendidikan yaitu memuat cara-cara bagaiman mengadakan evaluasi/ penilaian terhadap hasil belajar anak didik. Tujuan pendidikan Islam umumnya tidak dapat dicapai sekaligus, melainkan melalui proses atau tahapan tertentu. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan pendidikan Islam seringkali dilakukan evaluasi/penilaian pada tahap atau fase dari pendidikan Islam tersebut. Apabila tujuan pada tahap atau fase ini telah tercapai kemudian dapat dilanjutkan dengan pelaksanaan pendidikan tahap berikutnya, dan berakhir pada kepribadian musli.
8.      Alat-alat pendidikan Islam yaitu alat-alat yang dapat digunakan selama melaksanakan pendidikan Islam, agar tujuan pendidikan Islam tersebut lebih berhasil.
9.      Lingkuangan sekitar atau milieu  pendidikan Islam yang dimaksud, ialah keadaan-keadaan yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan serta hasil pendidikan Islam.[7]
Dari uraian tersebut dapat disimpulakan, bahwa ruang llingkup ilmu pendidikan islam sebab menyangkut berbagai aspek yang menyangkut penyelenggaraan pendidikan Islam.
Adapun objek ilmu pendidikan Islam dapat dibedakan menjadi objek materi dan objek formal. Objek materi ilmu pendidikan Islam yaitu anak didik yang masih dalam proses pertumbuhan, ia memiliki berbagai kemungkinan untuk dituntun dan dikembangkan kearah tujuan yang diinginkan. Sedangkan objek formal ilmu pendidikan Islam yaitu perbuatan mendidik yang ditujukan kepada anak didik untuk membawa anak kearah tujuan pendidikan Islam.
Perwujudan kurikulum yang valid harus berdasarkan pendekatan metode ilmiah yang sifatnya mengajar brpikir menyeluruh (universal), reflektif dan kritis. Metode ini dilakukan melalui lima tahapan yaitu kesadaran akan adanya masalah, perumusan masalah, identifikasi semua masalah, dan cara pemecahanya, proyeksi disemua konsekuensi yang akan timbul, dan mengkaji konsekuensi tersebut dalam pengalaman. Jadi, konstruksi tersebut bersifat terbuka yang kesalahannya dapat diverifikasi bahkan ditolak serta bersifat temporer dan tentatif.
Implikasi dimensi epistemology dalam rumusan kurikulum adalah (1) penguasaan konten (the what) yang tidak sepenting dengan penguasaan bagaimana (the how) memperoleh ilmu pengetahuan itu, (2) kurikulum menekankan lebih berat pada pelajaran proses (the how) yang artinya, bagaimana siswa dapat mengkonstruksikan ilmu pengetahuan, aktivitas kurikulum, pemecahan masalah yang sebenarnya berpijak pada epistemology kontruksi, dan (3) konten cenderung fleksibel, karena pengetahuan yang dihasilkan bersifat tidak mutlak tentatif, dan dapat berubah-ubah (QS. Ar-Rahman: 26-27, al-Isra’: 85). Di samping itu kurikulum pendidikan Islam mengacu juga pada pandangan futuristik, sehingga produk pendidikan tidakcanggung menghadapi alam yag mungkin mengalami perubahan dari masa ke masa.
3.      Aksiologi
Dikatakan oleh Dr. Zakiah Darajat bahwa tujuan pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil  dengan pola takwa, insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secra wajar dan normal karena takwanya kepada Allah swt. Ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan dan mengemabangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah dan dengan sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia kini dan di akhirat nanti. Tujuan ini kelihatannya terlalu ideal, sehingga sukar dicapai. Tetapi dengan kerja keras yang dilakukan secra berencana dengan kerangka-kerangka kerja yang konsepsional mendasar, pencapaian tujuan itu bukanlah sesuatu yang mustahil.
Dimensi aksiologi mengarahkan pembentukan kurikulum yang dirancang sedemikian rupa agar memberikan kepuasan pada diri peserta didik agar memiliki nilai-nilai ideal sebgaiamana tujuan pendidikan islam yang telah di urai di atas, supaya hidup dengan baik, sekaligus menghindarkan nila-nilai yang tidak diinginka. Tegasnya ketiga dimensi tersebut erupakan kerangka dalam perumusan kurikulum pendidikan islam, maka memiliki arti intervensi kehidupan peserta didik sedemikian rupa, agar menjadi insan kami, insan kaffah, dan insan yang sadar aka hak dan kewajibannya.[8]
Beberapa indikator dari tercapainya tujuan pendidikan islam dapat dibagi menjadi tiga tujuan mendasar, yaitu:
  1. Tercapainya anak didik yang cerdas. Ciri-cirinya adalah memiliki tingkat kecerdasan intelektualitas yang tinggi sehingga mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh dirinya sendiri maupun membantu menyelesaikan masalah orang lain yang membutuhkannya.
  2. Tercapainya anak didik yang memiliki kesabaran dan kesalehan emosional, sehingga tercermin dalam kedewasaan menghadapi masalah di kehidupannya.
  3. Tercapainya anak didik yang memiliki kesalehan spiritual, yaitu menjalankan perintah Allah dan Rasulullah SAW. Dengan melaksanakan rukun Islam yang lima dan mengejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya menjalankan shalat lima waktu, menjalankan ibadah puasa, menunaikan zakat,  dan menunaikan haji ke Baitullah.[9]
H.M. Arifin membedakan tujuan secara teoritis dan tujuan dalam proses. Tujuan teoritis ini terdiri dari berbagai tingkat antara lain:
  1. Tujuan intermediair, tujuan akhir, tujuan insidental
1)      Tujuan intermediair, yaitu tujuan yang merupakan batasan kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan tingkat tertentu.
2)      Tujuan insidental merupakan peristiwa tertentu yang direncanakan, tetapi dapat dijadikan sasaran dari pendidikan pada tujuan intermediair.
3)      Tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah lahir dan batin di dunia dan akhirat.
  1. Dilihat dari segi pendekatan sistem instruksional, tujuan pendidikan dibedakan menjadi:
1)      Tujaun instruksional khusus, diarahkan pada setiap bidang sudi yang harus dikuasai dan diamalkan oleh anak didik.
2)      Tujuan instruksional umum, diarahkan pada penguasaan arti pengamalan suatu bidang studi secara umum atau garis besarnya suatu kebulatan.
3)      Tujuan kurikuler, yaitu ditetapkan untuk dicapai melalui garis-garis besarprogram pengajaran (GBPP) di tiap institusi (lembaga pendidikan)
4)      Tujuan instruksional, yaitu tujuan yang harus dicapai menurut program pendidikan di tiap sekolah atau lembaga pendidikan tertentu secara bulat atau terminal seperti tujuan institusi SMTP/SMTA atau STM/SPG (tujuan terminal).
5)      Tujuan umum, atau tujuan nasional, adalah cita-cita hidup yang ditetapkan untuk dicapai melalui proses kependidikan dengan berbagai system, baik system formal (sekolah). System nonformal (nonklasikal dan nonkurikuler), maupun system informal (yang tidak terikat oleh formlaitas program ruang dan materi). (Nur Uhbiyati, 2005: 47)
  1. Ditinjau dari segi pembidangan tugas dan fungsi manusia secar filosofis, tujuan pendidikan dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1)      Tujuan individual, suatu tujuan yang menyangkut individu, melalui proses belajar dalam rangka mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat.
2)      Tujuan social, suatu tujuan yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan dengan tingkah lakunya serta dengan perubahan-perubahan yang di inginkan pada pertumbuhan pribadi, pengalaman dan kemajuan hidupnya.
3)      Tujaun professional, suatu tujauan yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni dan profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat. (Nur Uhbiyati, 2005: 47).
  1. Ditinjau dari segi pelaksanaannya, tujuan pendidikan dibedakan menjadi:
1)      Tujuan operasinal, yaitu suatu tujuan yang dicapai menurut program yang telah ditentukan atau ditetapkan dalam kurikulum.
2)      Tujuan fungsional, yaitu tujuan yang telah dicapai dalam arti kegunaannya, baik dari aspek teoritis maupun aspek praktis.
Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa tujuan pendidikan Islam secara esensial adalah terwujudnya anak didik yang memahami ilmu-ilmu keislaman dan mengamalkannya dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan kata lain terwujudnya insan kamil yaitu manusia yang kembali kepada fitrahnya dan kepada tujuan kehidupannya sebagaiamana isa berikrar sebagai manusia yang dating dari Allah dan kembali kepada Allah.


[1] Al-Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005, hal. 26-30
[2] Ibid, hal. 32.
[3] Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007, hal. 15.
[4] M.Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hal. 8.
[5] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2006. Hal.124
[6] ibid, hal. 126.
[7] M. Sudiyono, Opcit, hal. 10-12
[8] Abdul Mujib, Opcit, hal. 127-128
[9] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009. Hal. 189