Sabtu, 20 November 2010

PENDIDIKAN ISLAM DARI ASPEK ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI

PENDIDIKAN ISLAM
(Kurikulum Pendidikan Islam)
OLEH: NUR ISLAMIYAH MUCHSIN

Dasar falsafah kurikulum pendidikan Islam memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan islam, dengan dasar filosofis, sehingga susunan kurikulum mengandung suatu kebenaran dibidang nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini sebagai suatu kebenaran. Dasar filosofis mengandung sistem nilai, baik yang berkaitan dengan nilai dan makna hidup dan kehidupan, masalah kehidupan, norma-norma yang munculdari individu, sekelompok masyarakat, maupun suatu bangsa yang dilatorbelakangi oleh pengaruh agama, adat istiadat, dan konsep individu tentang pendidikan.
Dasra filosofis membawa rumusan kurikulum pendidikan Islam pada tiga dimensi, yaitu dimensi ontologism, dimensi epistemologis dan dimensi aksiologis.
1.      Ontologi
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada  tiga term yaitu:
a.      Al tarbiyah, penggunaan istilah ini berasala dari kata Rabb walaupun kata ini memiliki banyak arti akan tetapi pengertian dasarnya menunjukan kata tumbuh, berkembang, memelihara, merawat,  mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Kata ini paling banyak digunakan dibandingkan dengan istilah lainnya.
b.      Al-Ta’lim, kata ini telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal dibandingkan dengan istilah al-tarbiyah maupun al-ta’dib, Rasyid Ridha, mengartika al Ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan  pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.
c.       Al-Ta’dib, menurut al-Attas, istilah  yang paling tepat untuk menunjukan pendidikan islam adalah al-Ta’dib, kata ini berarti pengenalalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kedalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan.[1]
Terlepas dari keempat  istilah di atas, secara terminologi, para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformulasikan pengertian pendidikan Islam diantaranya adalah Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran islam.[2]
Menurut Drs. Ahmad D. Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama (kepribadian muslim) menurut ukuran-ukuran Islam.[3] Sedangkan menurut Rahman Nahlawi: “Pendidikan Islam adalah pengaturan pribadi dan masyarakat sehingga dapat memeluk islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kolektif.
Sedangkan menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung, Pendidikan Islam ialah pendidikan yang memiliki 4 macam fungsi yaitu:
a.       Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan dating. Peranan ini berkaitan erat dengan kelanjutan hidup (survival) masyarakat sendiri.
b.      Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda.
c.       Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan untuk emelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi bagi kelanjutan hidup suatu masyarakat dan peradaban. Dengan kata lain, tanpa nilai-nilai keutuhan (integrity) dan kesatuan (integration) suatu masyarakat tidak akan terpelihara, yang akhirnya akan berkesudahan dengan kehancuran masyarakat itu sendiri.
Adapun nilai-nilai yang dipindahkan ialah nilai-nilai yang diambil dari 5 sumber yaitu: al-Qur’an, Sunah Nabi. Qiyas, kemaslahatan umum dan kesepakatan atau ijma’ ulama-ulama serta nilai-nilai pikir Islam yang dianggap sesuai dengan sumber dasar yaitu al-Qur’an dan Sunah Nabi.
d.      Mendidik anak agar dapat beramal didunia ini untuk memetik hasilnya di akhirat.[4]
Dari batasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. Melalui pendekatan ini, ia akan dapat dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diyakininya.
Dasar Falsafah Kurikulum Pendidikan Islam
Dasar kurikulum adalah kekuatan-kekuatan utama yang mempengaruhi dan membentuk materi kurikulum, susunan atau organisasi kurikulum. Dasar kurikulum disebut  juga sumber kurikulum atau determinan kutikulum (penentu).
Herman H. Horne memberikan dasar kurikulum dengan tiga macam, yaitu:
1.      Dasar psikologis, yang digunakan untuk mengetahui kemampuan yang diperoleh dari pelajar dan kebutuhan peserta didik  (the quality and needs of children).
2.      Dasar sosiologis, yang digunakan untuk mengetahui tuntutan sah dari masyarakat (the legitimate demand of society).
3.      Dasar filosofis, yang digunakan untuk mengetahui keadaan alam semesta tempat kita hidup (the kind of universe in which we live).[5]
Dalam persepektif Islam, pendapat Herman di atas sesungguhnya belum menjamin bahwa suatu kurikulum dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, karena belum memasukan dasar religious yang wajib diresapi oleh peserta didik sejalan dengan tujuan yang ditetapkan. Sebagaimana makna pendidikan Islam yang telah di jabarkan di muka.
Dimensi ontologis mengarakan kurikulum agar lebih banyak memberi peserta didik untuk berhubungan langsung dengan fisik objek-objek, serta berkaitan dengan pelajaran yang memanipulasi benda-benda dan materi-materi kerja. Dimensi ini menghasilkan verbal learning (belajar verbal), yaitu berupa kemampuan memperoleh data dan informasi yang harus dipeljari dan di hafalkan. Dimensi ini diambil dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh Allah SWT. Kepada Nabi Adam as, dengan mengajarkan nama-nama benda, seperti termaktub alam firman Allah Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 31.
Implikasi dimensi ontology dalam kurikulum pendidikan ialah bahwa pengalaman yang ditanamkan kepada peserta didik tidak hanya sebatas pada alam fisik. Maksud alam tak terbatas adalah alam rohaniah atau spiritual, yang menghantarkan manusia pada keabadian. Disamping itu, perlu juga ditanamkan pengetahuan tentang hukum dan sistem kemestaan yang melahirkan perwujudan harmoni di dalam alam semesta termasuk hukum dan tata tertib yang menentukan kehidupan manusia di masa depan.[6]
2.      Epistemologi
Ilmu pendidikan Islam mempunyai ruang lingkup sangat luas, karena didalamnya penuh dengan segi-segi atau pihak-pihak yang ikut terlibat baik langsung ataupun tidak langsung.
Objek ilmu pendidikan Islam ialah situasi pendidikan yang terdapat pada dunia pengalaman. Di antara objek atau segi ilmu pendidikan Islam dalam situasi pendidikan Islam ialah:
1.      Perbuatan mendidik itu sendiri.
Yang dimaksud dengan perbuatan mendidik di sini ialah seluruh kegiatan, tindakan atau perbuatan dan sikap yang dilakukan oleh pendidik sewaktu menghadapi atau mengasuh anak didik. Atau dengan istilah yang lain yaitu, sikap atau tindakan menuntun, membimbing, memberikan pertolongan dari seseorang pndidik kepada anak didik untuk menuju ke tujuan pendidikan Islam. Dalam perbuatan mendidik ini sering disebut dengan istilah tahdzib atau ta’lim.
2.      Anak didik yaitu pihak yang merupakan objek terpenting dalam pendidikan. Hal ini disebabkan perbuatan atau tindakan mendidik itu diadaka atau dilakukan hanyalah untuk membawa anak didik kea rah tujuan pendidikan islam yang kita cita-citakan. Dalam pendidikan Islam anak didik ini sering isebut dengan istilah yang bermacam-macam, antara lain: santri, thalib, muta’alim, muhazab, tilmiz.
3.      Dasar dan tujuan pendidikan Islam yaitu landasan yang menjadi fondamen serta sumber dari segala kegiatan pendidikan islam itu dilakukan. Maksudnya, pelaksanaan pendidikan Islam harus berlandaskan atau bersumber dari dasar tersebut. Dalam hal ini dasar atau sumber pendidikan Islam ialah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan tujuan pendidikan Islam yaitu arah kemana anak didik ini akan dibawa. Secara ringka, tujuan pendidikan Islam yaitu ingin membentuk anak didik menjadi manusia (dewasa) muslim yang takwa kepada Allah SWT atau secara ringkas, kepribadian muslim.
4.      Pendidik yaitu subjek yang melaksanakan pendidikan Islam, dan pendidk ini mempunyai peranan penting terhadap berlangsungnya pendidikan. Baik atau buruknya pendidik berpengaruh besar terhadap hasil pendidikan Islam, pendidik sering disebut mu’allim, muhazib, ustaz, kiai, dan sebagainya. Di sampinng itu ada pula yang menyebutnya dengan istilah mursyid, artinya yang member petunjuk, karena mereka memang memberikan petunjuk-petunjuk kepad anak didiknya.
5.      Materi pendidikan Islam yaitu bahan-bahan atau pengalaman-pengalaman belajar ilmu agama Islam yang disusun sedemikian rupa (dengan susunan yang lazim tetapi logis) untuk disajikan atau disampaikan kepada anak didik. Dalam pendidikan Islam materi pendidikan ini sering disebut dengan istilah maddatuttarbiyah.
6.      Metode pendidikan Islam ialah cara yang paling tepat dilakukan oleh pendidik untuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan Islam kepada anak didik. Metode di sini mengemukakan bagaiman mengolah, menyusun dan menyajikan materi pendidikan Islam agar materi pendidikan islam tersebut dapat dnegan mudah diterima dan dimiliki oleh anak didik. Dalam pendidikan Ilsma metode pendidkan ini disebut dengan istilah tariqatuttarbiya atau tariqatuttahzib.
7.      Evaluasi pendidikan yaitu memuat cara-cara bagaiman mengadakan evaluasi/ penilaian terhadap hasil belajar anak didik. Tujuan pendidikan Islam umumnya tidak dapat dicapai sekaligus, melainkan melalui proses atau tahapan tertentu. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan pendidikan Islam seringkali dilakukan evaluasi/penilaian pada tahap atau fase dari pendidikan Islam tersebut. Apabila tujuan pada tahap atau fase ini telah tercapai kemudian dapat dilanjutkan dengan pelaksanaan pendidikan tahap berikutnya, dan berakhir pada kepribadian musli.
8.      Alat-alat pendidikan Islam yaitu alat-alat yang dapat digunakan selama melaksanakan pendidikan Islam, agar tujuan pendidikan Islam tersebut lebih berhasil.
9.      Lingkuangan sekitar atau milieu  pendidikan Islam yang dimaksud, ialah keadaan-keadaan yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan serta hasil pendidikan Islam.[7]
Dari uraian tersebut dapat disimpulakan, bahwa ruang llingkup ilmu pendidikan islam sebab menyangkut berbagai aspek yang menyangkut penyelenggaraan pendidikan Islam.
Adapun objek ilmu pendidikan Islam dapat dibedakan menjadi objek materi dan objek formal. Objek materi ilmu pendidikan Islam yaitu anak didik yang masih dalam proses pertumbuhan, ia memiliki berbagai kemungkinan untuk dituntun dan dikembangkan kearah tujuan yang diinginkan. Sedangkan objek formal ilmu pendidikan Islam yaitu perbuatan mendidik yang ditujukan kepada anak didik untuk membawa anak kearah tujuan pendidikan Islam.
Perwujudan kurikulum yang valid harus berdasarkan pendekatan metode ilmiah yang sifatnya mengajar brpikir menyeluruh (universal), reflektif dan kritis. Metode ini dilakukan melalui lima tahapan yaitu kesadaran akan adanya masalah, perumusan masalah, identifikasi semua masalah, dan cara pemecahanya, proyeksi disemua konsekuensi yang akan timbul, dan mengkaji konsekuensi tersebut dalam pengalaman. Jadi, konstruksi tersebut bersifat terbuka yang kesalahannya dapat diverifikasi bahkan ditolak serta bersifat temporer dan tentatif.
Implikasi dimensi epistemology dalam rumusan kurikulum adalah (1) penguasaan konten (the what) yang tidak sepenting dengan penguasaan bagaimana (the how) memperoleh ilmu pengetahuan itu, (2) kurikulum menekankan lebih berat pada pelajaran proses (the how) yang artinya, bagaimana siswa dapat mengkonstruksikan ilmu pengetahuan, aktivitas kurikulum, pemecahan masalah yang sebenarnya berpijak pada epistemology kontruksi, dan (3) konten cenderung fleksibel, karena pengetahuan yang dihasilkan bersifat tidak mutlak tentatif, dan dapat berubah-ubah (QS. Ar-Rahman: 26-27, al-Isra’: 85). Di samping itu kurikulum pendidikan Islam mengacu juga pada pandangan futuristik, sehingga produk pendidikan tidakcanggung menghadapi alam yag mungkin mengalami perubahan dari masa ke masa.
3.      Aksiologi
Dikatakan oleh Dr. Zakiah Darajat bahwa tujuan pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil  dengan pola takwa, insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secra wajar dan normal karena takwanya kepada Allah swt. Ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan dan mengemabangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah dan dengan sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia kini dan di akhirat nanti. Tujuan ini kelihatannya terlalu ideal, sehingga sukar dicapai. Tetapi dengan kerja keras yang dilakukan secra berencana dengan kerangka-kerangka kerja yang konsepsional mendasar, pencapaian tujuan itu bukanlah sesuatu yang mustahil.
Dimensi aksiologi mengarahkan pembentukan kurikulum yang dirancang sedemikian rupa agar memberikan kepuasan pada diri peserta didik agar memiliki nilai-nilai ideal sebgaiamana tujuan pendidikan islam yang telah di urai di atas, supaya hidup dengan baik, sekaligus menghindarkan nila-nilai yang tidak diinginka. Tegasnya ketiga dimensi tersebut erupakan kerangka dalam perumusan kurikulum pendidikan islam, maka memiliki arti intervensi kehidupan peserta didik sedemikian rupa, agar menjadi insan kami, insan kaffah, dan insan yang sadar aka hak dan kewajibannya.[8]
Beberapa indikator dari tercapainya tujuan pendidikan islam dapat dibagi menjadi tiga tujuan mendasar, yaitu:
  1. Tercapainya anak didik yang cerdas. Ciri-cirinya adalah memiliki tingkat kecerdasan intelektualitas yang tinggi sehingga mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh dirinya sendiri maupun membantu menyelesaikan masalah orang lain yang membutuhkannya.
  2. Tercapainya anak didik yang memiliki kesabaran dan kesalehan emosional, sehingga tercermin dalam kedewasaan menghadapi masalah di kehidupannya.
  3. Tercapainya anak didik yang memiliki kesalehan spiritual, yaitu menjalankan perintah Allah dan Rasulullah SAW. Dengan melaksanakan rukun Islam yang lima dan mengejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya menjalankan shalat lima waktu, menjalankan ibadah puasa, menunaikan zakat,  dan menunaikan haji ke Baitullah.[9]
H.M. Arifin membedakan tujuan secara teoritis dan tujuan dalam proses. Tujuan teoritis ini terdiri dari berbagai tingkat antara lain:
  1. Tujuan intermediair, tujuan akhir, tujuan insidental
1)      Tujuan intermediair, yaitu tujuan yang merupakan batasan kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan tingkat tertentu.
2)      Tujuan insidental merupakan peristiwa tertentu yang direncanakan, tetapi dapat dijadikan sasaran dari pendidikan pada tujuan intermediair.
3)      Tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah lahir dan batin di dunia dan akhirat.
  1. Dilihat dari segi pendekatan sistem instruksional, tujuan pendidikan dibedakan menjadi:
1)      Tujaun instruksional khusus, diarahkan pada setiap bidang sudi yang harus dikuasai dan diamalkan oleh anak didik.
2)      Tujuan instruksional umum, diarahkan pada penguasaan arti pengamalan suatu bidang studi secara umum atau garis besarnya suatu kebulatan.
3)      Tujuan kurikuler, yaitu ditetapkan untuk dicapai melalui garis-garis besarprogram pengajaran (GBPP) di tiap institusi (lembaga pendidikan)
4)      Tujuan instruksional, yaitu tujuan yang harus dicapai menurut program pendidikan di tiap sekolah atau lembaga pendidikan tertentu secara bulat atau terminal seperti tujuan institusi SMTP/SMTA atau STM/SPG (tujuan terminal).
5)      Tujuan umum, atau tujuan nasional, adalah cita-cita hidup yang ditetapkan untuk dicapai melalui proses kependidikan dengan berbagai system, baik system formal (sekolah). System nonformal (nonklasikal dan nonkurikuler), maupun system informal (yang tidak terikat oleh formlaitas program ruang dan materi). (Nur Uhbiyati, 2005: 47)
  1. Ditinjau dari segi pembidangan tugas dan fungsi manusia secar filosofis, tujuan pendidikan dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1)      Tujuan individual, suatu tujuan yang menyangkut individu, melalui proses belajar dalam rangka mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat.
2)      Tujuan social, suatu tujuan yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan dengan tingkah lakunya serta dengan perubahan-perubahan yang di inginkan pada pertumbuhan pribadi, pengalaman dan kemajuan hidupnya.
3)      Tujaun professional, suatu tujauan yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni dan profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat. (Nur Uhbiyati, 2005: 47).
  1. Ditinjau dari segi pelaksanaannya, tujuan pendidikan dibedakan menjadi:
1)      Tujuan operasinal, yaitu suatu tujuan yang dicapai menurut program yang telah ditentukan atau ditetapkan dalam kurikulum.
2)      Tujuan fungsional, yaitu tujuan yang telah dicapai dalam arti kegunaannya, baik dari aspek teoritis maupun aspek praktis.
Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa tujuan pendidikan Islam secara esensial adalah terwujudnya anak didik yang memahami ilmu-ilmu keislaman dan mengamalkannya dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan kata lain terwujudnya insan kamil yaitu manusia yang kembali kepada fitrahnya dan kepada tujuan kehidupannya sebagaiamana isa berikrar sebagai manusia yang dating dari Allah dan kembali kepada Allah.


[1] Al-Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005, hal. 26-30
[2] Ibid, hal. 32.
[3] Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007, hal. 15.
[4] M.Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hal. 8.
[5] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2006. Hal.124
[6] ibid, hal. 126.
[7] M. Sudiyono, Opcit, hal. 10-12
[8] Abdul Mujib, Opcit, hal. 127-128
[9] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009. Hal. 189

Tidak ada komentar:

Posting Komentar